Perkenalan dengan banyak orang yang berbeda ini mengajarkan saya satu hal : Suku dan ras hanya menjelaskan dari mana asal seseorang, tapi tidak menjelaskan apa pun mengenai karakter orang itu.
Kita tidak boleh memperlakukan orang yang berlawanan, berbeda pandangan bahkan sampai berbeda aqidah atau agama dan memerangi kita, dengan sikap yang melewati batas sebagai manusia.
Sebelum terlalu jauh, penulis memposisikan Islam Nusantara sebagai sebuah aktifitas ilmiah yang tidak perlu dibicarakan oleh orang-orang yang tidak konsentrasi mengkaji beberapa disiplin keilmuan seperti filsafat Islam dan Ushul Fiqh secara formal atau non-formal.
Semua kaidah ini sudah dipelajari bagaimana penerapannya di masyarakat Indonesia oleh para Kiai Nahdlatul Ulama (NU). Itu sebabnya NU itu lentur, fleksibel tapi juga lurus.
Di atas perahu, saat saya mulai mual disebabkan perahu terombang-ambing karena besarnya ombak, saya memulai dialog dengan salah satu penumpang yang ternyata penduduk Sapudi. "Ombeknah ma' rajeh ghi"? (Ombaknya kok besar ya?), penumpang itu menjawab, "geneka kenik ombeknah" (ini ombak kecil). Saya kemudian terdiam.
"Tadi malam akhi Ujang ikutan ratiban di kediaman Haji Yunus yah?" "Iyah alhamdulillah saya ikutan bareng-bareng baca Ratib al-Haddad bersama Wak Haji", jawab Ujang sebelum menyeruput es kelapa muda.
Wacana Allah dan hamba-Nya dalam realitas keberagamaan, sebuah kritik keminiman pemahaman akan al Qur'an, namun memaksakan diri sebagai 'Tuhan' yang mudah menghukum.
Apakah semua urusan yang belum ada pada jaman Nabi disebut bid’ah? Saya ke kantor pakai Honda, tetangga saya pakai Toyota, lalu Nabi pakai Onta.
Marilah kita hormati spesialisasi keilmuan masing-masing. Tahu dirilah sedikit, bahwa ilmu ini luas, dan orang belajar agama tidak instan
Saat ini banyak permasalahan yang sering membingungkan terkait semua tindakan Nabi, karena dianggap sebagai sunnah yang wajib diikuti.