Kaisar Leo III yang berkuasa pada pertengahan abad kedelapan Masehi di Byzantium murka besar. Kekalahan pihak Kristen terhadap Islam, menurutnya, karena umat Kristiani tidak lagi menyembah Tuhan secara murni.
Mengamati unek-unek yg berseliweran di media sosial belakangan ini, sy berkesimpulan bahwa masih ada banyak yang salah paham dengan keputusan Munas NU, khususnya terkait "non-Muslim" dan "kafir" yg sedang viral. Bahkan kesalahpahaman itu menimpa orang-orang NU yang juga hadir di area Munas.
Beberapa hari terakhir ini istilah kafir dan non muslim menjadi viral di media sosial on line, sebagai respon terhadap hasil pembahasan dalam Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU), di Banjar Jawa Barat. Istilah non-muslim digunakan bagi warga negara yang bukan beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara
Kaum radikal merasa mendapat angin untuk menyudutkan NU dengan pendapat NU tentang warga negara non muslim. Seakan lebih faqih dari para kiai NU, kaum radikal mengkritisi hasil forum bahtsul masail NU. Forum ini forum ilmiah yang diikuti oleh para kiai yang sangat mumpuni ilmunya.
Saya akan kasih perspektif lain, mas. Keputusan Munas NU itu, bagi saya, tetaplah sangat fenomenal. Kenapa?
Sebagaimana kita tahu bahwa pembicaraan tentang fikih selalu bersinggungan dengan kekuasaan, kendatipun yang diperbincangkan adalah mengenai persoalan ibadah. Persinggungan fikih dengan kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari posisi fikih yang memainkan peran sebagai law in action.
Kata "Kafir" beberapa hari ini lagi viral, menjadi topik menarik dari berbagai aspeknya, apa sih sebernya kata "Kafir" itu?.
Dulu, nama Syekh Musthofa al-Ghalayini saya kenal tak lebih sekadar penulis dari beberapa kitab-kitab kebahasaan dan kesusastraan Arab. Karya-karya beliau seputar kebahasaan memang banyak dan masuk daftar dari sekian kitab gramatikal Arab yang bisa membuat santri menjadi liar seliar-liarnya dalam mengeksplor wawasan penguasaannya terhadap Bahasa Arab
Kebalikan dari materi bahtsul masa’il Munas NU 2019 di Banjar yang membahas non-muslim bukan kafir tapi warga negara, saya sudah mempermasalahkan status kewarganegaraan kaum muslim radikal takfiri d beberapa tulisan saya “Dosakah Menjadi Indonesia” dan “Golput Takfiri”
Masihkah kita ingin menukarkan agama dan negara ini dengan kepuasan nafsu sesa’at dengan secarcik berlembarkan rupiah