Dalam tradisi Islam, bertawassul kepada Nabi SAW dipandang sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau, serta pengakuan atas kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya sebagai rasul terakhir.
Alkisah, seorang tokoh ulama Mu’tazilah, suatu ketika ingin melamar salah satu putri seorang qodhi (hakim) yang berada di Makkah. Sementara, qodhi tersebut adalah seorang penganut paham Ahlussunnah wal Jama'ah.
Kyai Hasyim mengendalikan air matanya, menghela napas dalam-dalam dan berkata, “Aku punya cita-cita sudah sejak sangat lama, tapi sampai sekarang belum mampu melaksanakan. Kyai Salam malah sudah istiqomah. Aku iri.”
Di dalam kitab Al-Qalyubi karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah terdapat satu kisah yang sangat menarik, tentang seorang raja zalim, tetapi ternyata doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT dikabulkan.
Dalam kitab Qimatuz Zaman 'indal Ulama, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menjelaskan banyak hal mengenai kebiasaan para ulama besar dalam menjaga waktunya agar tidak terlewatkan sia-sia.
Surga disediakan untuk orang-orang yang beriman dan berbuat baik, dari manapun berasal, berwarna kulit apapun, berjenis kelamin apapun dan dari keturunan siapapun.
Pada masa itu, terdapat salah seorang sahabat yang bernama Abu Dujanah. Setiap selesai menjalankan ibadah shalat Subuh berjamaah yang diimami oleh Rasulullah SAW, Abu Dujanah selalu terburu-buru pulang tanpa menunggu pembacaan doa yang dipanjatkan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW kembali menatap pemuda tersebut dengan pandangan yang teduh dan senyum yang menentramkan hati, kemudian balik bertanya, "Wahai pemuda, apakah kamu pernah sakit, pernah dikhianati, dizalimi pernah tak enak hati, pernah gundah tanpa sebab yang pasti, pernah mendapat masalah yang besar?"
Andaikan di antara kita ada yang pernah memandang Habib Anis, niscaya dalam hati kita akan meyakini bahwa beliaulah hamba Allah yang sangat istiqomah dalam menapaki jejak datuk-datuknya sampai kepada Rasulullah SAW.
Sebagaimana dikutip dari channel Yotube Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi, dikatakan bahwa acara Haul Solo pertama kali digagas oleh Habib Alwi bin Ali, putra dari Habib Ali. Sedangkan Haul Solo itu sendiri tidak lain adalah acara Haul Habib Ali Al-Habsyi, penulis kitab Maulid Simtuddurar.