Kitab Al-Iksir ini menarik. Selain dikarang oleh ulama, kyai dari Indonesia, juga sebagai referensi Ilmu tafsir yang bisa dianggap sebagai bagian dari kitab otoritatif dalam dunia Ulumul Qur'an dan Ulumut Tafsir.
Nyai Hj. Solichah bukan hanya sosok yang dicintai, tetapi juga sumber pelajaran hidup yang tak ternilai. Dalam setiap cerita cucu-cucunya, tersirat betapa besar pengaruh beliau, baik sebagai pemersatu keluarga maupun sebagai teladan dalam memegang prinsip hidup.
Kisah ini bukan hanya tentang seorang presiden dan gurunya, tetapi juga tentang bagaimana kekuatan spiritual dapat menjadi bagian penting dari perjuangan bangsa. Pesantren Cikiruh tidak hanya menjadi saksi perjuangan fisik, tetapi juga menjadi tempat di mana semangat perjuangan dilandasi dengan doa dan keikhlasan.
Diriwayatkan, bahwa KH Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo saat menimba ilmu kepada Syaikhona Kholil Bangkalan merupakan seorang santri yang sangat ta'dhim dan luar biasa khidmahnya kepada sang guru.
Nasi yang dihidangkan khas kegemaran Bung Karno: nasi putih yang pulen dan wangi, hangat, dengan lauk ayam panggang bumbu kemiri yang tidak terlalu halus menumbuknya dan tidak terlalu pedas, serta sayur bening, bayam dan jagung, yang agak manis rasanya. Inilah menu yang dihidangkan setiap Bung Karno berkunjung ke pesantren itu.
Sebagai anak, Lily merasa bahwa ubudiyah ibunya adalah teladan utama yang patut dicontoh. Beliau menjalani kehidupan dengan keseimbangan antara hubungan vertikal dengan Allah dan horizontal dengan sesama manusia. “Ibu adalah sosok yang sangat sederhana, tetapi memiliki hubungan spiritual yang sangat kuat,” kata Lily.
Indonesia, dengan keanekaragaman budayanya, menyimpan banyak kearifan lokal yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Salah satunya adalah filosofi ilmu padi, yang mengajarkan bahwa semakin berisi seseorang, semakin rendah hati dan bermanfaat bagi sekitarnya.
Suatu hari, Gus Dur menemani ayahnya dalam perjalanan menuju Sukanegara untuk sowan kepada Ajengan Musa. Gus Dur mengenang saat-saat itu dengan penuh hormat dan kekaguman, terutama mengingat kedalaman ilmu dan kebijaksanaan yang dimiliki Ajengan Musa. Setelah mereka bersalaman, Ajengan Musa berbicara kepada KH. A. Wahid Hasyim dalam bahasa Sunda, mengisyaratkan suatu peringatan yang serius.
“Ibu selalu memberikan buku, baik ketika ada peristiwa istimewa seperti ulang tahun atau dalam keseharian kami. Melalui buku, Ibu menanamkan pelajaran hidup dengan cara yang mengesankan,” kenang Aisyah.
Sebagai seorang ibu, Nyai Solichah mendidik anak-anaknya dengan caranya penuh kasih sayang dan penuh penghargaan atas kebebasan mereka. Ia tidak pernah mengekang atau mengarahkan secara ketat, melainkan memberikan kebebasan penuh pada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.