Hukum Berpuasa menurut Mazhab Selain Mazhab Syafi’i

 
Hukum Berpuasa menurut Mazhab Selain Mazhab Syafi’i

Berpuasa Menurut Mazhab Selain Mazhab Syafii

Pertanyaan :

Sahkah berpuasa menurut mazhab Hanafi atau Maliki dengan tidak mengetahui syarat, rukun dan batalnya puasa menurut kedua mazhab tersebut?

 

Jawab : Tidak sah, karena tidak mengetahui dasar-dasar orang yang diikuti.

Catatan: Syarat ber-taqlid itu ada enam, yaitu:

  1. Harus mengetahui dasar yang dianggap benar oleh imamnya, dalam persoalan yang akan diikuti, seperti syarat, rukun, dan kewajiban-
  2. Harus dalam persoalan yang akan dilaksanakan (bukan yang telah dikerjakan).
  3. Tidak mencari-cari keringanan untuk menghindarkan kewajiban.
  4. Imam yang diikuti harus bertitel Mujtahid.
  5. Tidak mencampur-adukkan antara ketentuan satu dengan lainnya dalam satu persoalan (talfiq).
  6. Hukum yang diikuti tidak bertentangan dengan keputusan hakim karena menyalahi dalil nash atau ijma’ atau lainnya. Syarat-syarat yang tersebut juga diutarakan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin.

Keterangan, dari kitab:

  1. Tanwir al- Qulub[1]

وَلِلتَّقْلِيْدِ شُرُوْطُ سِتَّةٍ اْلأَوَّلُ مَعْرِفَةُ الْمُقَلِّدِ مَا اعْتَمَدَهُ مُقَلَّدَهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الَّتِي يُرِيْدُ التَّقْلِيْدَ فِيْهَا مِنْ شُرُوْطٍ وَوَاجِبَاتٍ إلخ... وَالثَّانِي أَنْ لاَ يَكُوْنَ التَّقْلِيْدُ بَعْدَ الْوُقُوْعِ إلخ... وَالثَّالِثُ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُّخَصَ بِحَيْثُ يُخْرِجُهُ عَنْ عُقْدَةِ التَّكْلِيْفِ وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُوْنَ مُقَلَّدَهُ مُجْتَهِدًا وَالْخَامِسُ عَدَمُ التَّلْفِيْقِ إلخ... وَالسَّادِسُ أَنْ لاَ يَكُوْنَ الْحُكْمُ الْمُقَلَّدُ فِيْهِ مِمَّا يُنْقَضُ فِيْهِ قَضَاءُ الْقَاضِي لَوْ حَكَمَ بِهِ لِمُخَالَفَتِهِ نَصًّا أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ نَحْوَهُمَا . Syarat-syarat bertaqlid (mengikuti pendapat orang lain) ada enam:

  1. Mengetahui dasar pijakan yang dianut oleh imam yang diikuti perihal permasalahan yang diikuti seperti syarat-syarat, kewajiban dan yang lainnya.
  2. Taqlid tidak pada masalah yang telah dilaksanakan.
  3. Bukan untuk mencari dispensasi sehingga terhindar dari beban kewajiban.
  4. Imam yang diikuti tersebut harus berlevel
  5. Tidak mencampuradukkan antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lain (dari imam yang berbeda).

Hukum yang diikuti bukan suatu hukum yang batal bila oleh seorang hakim dijadikan sebagai ketetapan hukum, karena bertentangan dengan nash, ijma’  dan semisalnya.

 

[1] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 355-358. Lihat pula Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M), h. 9.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.71

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-4

Di Semarang Pada Tanggal 14 Rabiuts Tsani 1348 H. / 19 September 1929 M.