Hukum Berdoa dengan Permohonan yang Mustahil Tercapai

 
Hukum Berdoa dengan Permohonan yang Mustahil Tercapai

Berdoa untuk Memohon Sesuatu yang Tidak Mungkin Tercapai

Pertanyaan :

Bolehkah berdoa dengan ayat al-Quran untuk sesuatu yang biasanya tidak mungkin tercapai di dunia misalnya ayat “Ya Allah semoga Paduka turunkan hidangan dari langit kepada kami” 

atau ayat “Wahai Tuhanku tunjukkanlah Dzat Paduka kepada hamba supaya hamba dapat melihat Paduka Tuhan”, dengan maksud semata-mata berdoa.

Jika boleh, apakah yang berdoa itu mendapat pahalanya membaca al-Quran? Jika haram manakah yang lebih utama berdoa dengan ayat semacam itu dengan maksud membaca al-Quran supaya mendapat pahala fadhilahnya atau dengan doa karangan sendiri?

 

Jawab :

Berdoa untuk memohon sesuatu yang tidak mungkin tercapai, baik ditinjau dari segi akal pikiran, atau dari segi agama, maupun dari segi adat itu hukumnya tidak boleh, sekalipun dengan ayat al-Qur’an, karena yang dituju maksudnya tercapainya dan ia tidak mendapatkan pahala membaca al-Qur’an sebab tidak diniatkan, tetapi bila diniatkan membaca al-Qur’an maka hukumnya boleh dan mendapat pahala, bahkan berdoa dengan ayat al-Qur’an, itu lebih utama daripada doa karangan sendiri asal untuk maksud yang tidak mustahil tercapainya.

Keterangan, dari kitab:

  1. Hasyiyah al-Shawi[1]

قوله تعالى: "اِتَّقُوا اللهَ." أَيْ تَأَدَّبُوْا فِي السُّؤَالِ وَلاَ تَخْتَرِعُوْا أُمُوْرًا خَارِجَةً عَنِ الْعَادَةِ فَإِنَّ اْلأَدَبَ فِي السُّؤَالِ أَنْ تَسْأَلَ أَمْرًا مُعْتَادًا. وَمِنْ هُنَا حَرَّمَ الْعُلَمَاءُ الدُّعَاءَ بِمَا تُحِيْلُهُ الْعَادَةُ.

Pengertian firman Allah: Bertakwalah kepada Allah.  (QS. al-Maidah, 112), yakni bersantunlah dalam memohon kepada-Nya dan jangan mengada-ada dengan memohon sesuatu yang menurut kebiasaan tidak mungkin terwujud. Sesungguhnya aturan dalam memohon kepada-Nya adalah dengan memohon sesuatu yang memang mungkin adanya. Oleh karenanya maka para ulama mengharamkan doa-doa memohon sesuatu yang menurut kebiasaan yang normal mustahil adanya.

  1. Ithaf al-Sadah al-Muttaqin[2]

اْلأَوَّلُ أَنْ لاَ يَكُوْنَ الْمَسْئُوْلُ مُمْتَنِعًا عَقْلاً وَلاَ عَادَةً كَإِحْيَاءِ الْمَوْتَى وَرُؤْيَةِ اللهِ تَعَالَى فِي الدُّنْيَا وَإِنْزَالِ مَائِدَةٍ مِنَ السَّمَاءِ. أَوْ مَلَكٍ يُخْبِرُ بِأَخْبَارِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْخَوَارِقِ الَّتِيْ كَانَتْ لِلأَنْبِيَاءِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ السَّائِلُ نَبِيًّا.

(Tata cara berdoa) yang pertama adalah hendaknya yang diminta itu bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin terwujud, baik secara rasio maupun kebiasaan seperti menghidupkan orang mati, melihat Allah di dunia dan turunnya hidangan dari langit, atau malaikat yang memberitakan suatu berita dan lain sebagainya yang termasuk hal-hal yang tidak lazim dan hanya dimiliki oleh para nabi, kecuali jika yang berdoa itu memang seorang nabi.

[1]   Ahmad al-Shawi al-Maliki, Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1426 H/2005 M), Jilid I, h. 423.

[2]   Muhammad Murtadha al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1422 H/2002 M), Jilid V, h. 260.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 114

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-6

Di Pekalongan Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M.