Apa yang Wajib Dipelajari Pertama Kali oleh Orang yang sudah Aqil Baligh?

 
Apa yang Wajib Dipelajari Pertama Kali oleh Orang yang sudah Aqil Baligh?

Yang Wajib Dipelajari Pertama Kali Oleh Seorang Mukallaf

Pertanyaan :

Apakah yang wajib dipelajari terlebih dahulu oleh orang mukallaf (aqil baligh)? Apakah belajar membaca al-Quran atau (barzanji). Apakah kitab yang berbahasa Arab? Ataukah yang berbahasa daerah yang menerangkan kewajiban orang mukallaf?

Jawab :

Yang wajib dipelajari lebih dahulu, ialah belajar kedua kalimah syahadah dan mengerti artinya dengan bahasa apa saja.

Keterangan, dari kitab:

  1. Ihya Ulum al-Din[1]

فَإِذَا بَلَغَ الرَّجُلُ الْعَاقِلُ بِاْلإِحْتِلاَمِ أَوِ السِّنِّ ضَحْوَةَ نَهَارٍ مَثَلاً فَأَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَيْهِ تَعَلُّمُ كَلِمَتَيِ الشَّهَادَتَيْنِ وَفَهْمُ مَعْنَاهِمَا وَهُوَ قَوْلُ لآ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.

Apabila di siang hari seorang laki-laki yang berakal memasuki baligh dengan bermimpi (keluar sperma) atau mencapai usia  (genap 15 tahun qamariyah) misalnya, maka kewajiban pertama baginya adalah belajar dua kalimat syahadat dan mengerti maknanya, yakni kalimat la ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.

 

2. Maslak al-Atqiy.aa ‘ala Hidayah al-Adzkiyaa[2]

وَتَفْصِيْلُ ذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ الْعَاقِلَ إِذَا بَلَغَ ضَحْوَةَ نَهَارٍ مَثَلاً فَأَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَيْهِ تَعَلُّمُ كَلِمَتَيِ الشَّهَادَةِ وَفَهْمُ مَعْنَاهِمَا. وَلاَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُحَصِّلَ كَشْفَ ذَلِكَ لِنَفْسِهِ بِالنَّظَرِ وَالْبَحْثِ وَتَحْرِيْرِ اْلأَدِلَّةِ بَلْ يَكْفِيْهِ التَّصْدِيْقُ وَاْلإِعْتِقَادُ الْجَازِمُ مِنْ غَيْرِ احْتِلاَجِ رَيْبٍ وَذَلِكَ قَدْ يَحْصُلُ بِمُجَرَّدِ التَّقْلِيْدِ وَالسِّمَاعِ.

Adapun perinciannya adalah, bahwa apabila di siang hari seorang laki-laki yang berakal memasuki baligh dengan bermimpi (keluar sperma) atau mencapai usia (genap 15 tahun qamariyah) misalnya, maka kewajiban pertama baginya adalah belajar dua kalimat syahadat dan mengerti maknanya. Dan ia tidak wajib berupaya mengungkap maknanya  untuk kebutuhan dirinya itu dengan memikir, meneliti dan mengurai dalil-dalilnya (sendiri), namun cukup baginya (sekedar) mempercayai dan meyakininya secara mantap tanpa keraguan sama sekali. Dan yang demikian itu bisa diperoleh dengan hanya bertaklid dan mendengar dari orang lain.

[1] Hujjah al-Islam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Mesit: Musthafa al-Halabi, 1358 H/1939 M), Jilid I, h. 21.

[2] Abdul Aziz bin Zainuddin al-Malibari, Maslak al-Atqiyaa  ‘ala Hidayah al-Adzkiyaa’.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 130

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8

Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.