Hukum Menepuk Pundak Imam oleh Orang yang Akan Bermakmum

 
Hukum Menepuk Pundak Imam oleh Orang yang Akan Bermakmum
Sumber Gambar: Foto Shrey Khurana / Unspalsh (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Shalat terutama shalat wajib lima waktu adalah kewajiban bagi setiap umat Islam yang merupakan amalan yang akan dihisab pertama kali di hadapan Allah SWT. Dalam pelaksanaan shalat kita bisa melaksanakan secara munfarid (sendiri) maupun berjama'ah. Namun yang lebih utama dalam melaksanakan shalat fardhu adalah dilaksanakan secara berjama'ah karena derjatnya lebih tinggi daripada shalat sendirian.

Dalam melaksanakan shalat fardhu secara berjama'ah terdapat aturan dan syarat yang harus dipenuhi oleh para jama'ah yaitu imam dan makmum sebagaimana yang telah diatur secara rinci dalam ilmu fiqih. Dalam hal menjadi makmum ketika shalat berjama'ah, maka seorang makmum wajib berniat menjadi makmum dan mengikuti seluruh gerakan shalat yang dilakukan oleh seorang imam hingga selesai shalat.

Ketika shalat berjama'ah dilaksanakan secara bersamaan oleh imam dan makmum tidak terdapat persoalan yang begitu berarti selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun bagaimana ketika seorang akan bermakmum (makmum masbuk) kepada orang yang sedang mengerjakan shalat dan sudah sampai di pertengahan shalatnya (selesai membaca surat Al-Fatihah). Apakah sang imam harus mengulangi bacaan surat Al-Fatihahnya atau melanjutkan bacaannya?

Baca Juga: Hukum Ketika Waswas antara Kentut atau Tidak dalam Shalat

Dalam hal ini Syekh Zainudin Al-Malibary menjelaskan bahwa imam tidak perlu mengulangi bacaan surat Al-Fatihahnya dan makmum menyesuaikan dengan sang imam.

فإذا اقتدى في الاثناء لزمه موافقة الامامفإذا اقتدى في الاثناء لزمه موافقة الامام

"Apabila seseorang niat bermakmum di tengah pelaksanaan shalat, ia harus menyesuaikan dengan imam"

Kebiasaan yang sering terjadi ketika seorang yang akan bermakmum kepada orang yang tengah melaksanakan shalat yaitu dengan cara menyentuh atau menepuk pundak orang yang sedang melaksanakan shalat. Mengenai hal tersebut bagaimana hukum menepuk pundaknya?

Secara fiqih hukumnya adalah boleh bahkan baik jika hal itu (tepukan pundak) memberikan isyarat bahwa yang bersangkutan telah dijadikan imam shalat supaya ia paham statusnya, dan disunahkan niat menjadi imam di pertengahan itu. Namun menjadi makruh hukumnya jika tepukan itu menyebabkan imam sedikit terkejut atau menjadikan sangkaan orang, bahwa menyentuh itu hukumnya sunah atau wajib. Dan menjadi haram hukumnya jika tepukan pundak tersebut membuat imam sangat terkejut sehingga sampai membatalkan shalatnya. Berikut keterangan dari beberapa kitab di bawah ini:

1. Mauhibah Dzi Al-Fadhl

(وَيَحْرُمُ) عَلَى كُلِّ أَحَدٍ (الْجَهْرُ) فِي الصَّلاَةِ وَخَارِجِهَا (إِنْ شَوَّشَ عَلَى غَيْرِهِ) مِنْ نَحْوِ مُصَلٍّ أَوْ قَارِئٍ أَوْ نَائِمٍ لِلضَّرَرِ وَيُرْجَعُ لِقَوْلِ الْمُتَشَوِّشِ وَلَوْ فَاسِقًا  لِأَنَّهُ لاَ يُعْرَفُ إِلاَّ مِنْهُ. وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْحُرْمَةِ ظَاهِرٌ لَكِنْ يُنَافِيْهِ كَلاَمُ الْمَجْمُوْعِ وَغَيْرِهِ. فَإِنَّهُ كَالصَّرِيْحِ فِي عَدَمِهَا إِلاَّ أَنْ يُجْمَعَ بِحَمْلِهِ عَلَى مَا إِذَا خَافَ التَّشْوِيْشَ

"(Dan diharamkan) bagi siapapun (bersuara keras), baik di dalam shalat atau di luar shalat (jika mengganggu orang lain), seperti orang yang sedang shalat, membaca atau tidur, karena merugikan. Dan kasus ini dikembalikan pada pendapatnya orang yang terganggu, meskipun ia orang yang fasik. Sebab, terganggu dan tidaknya sesorang hanya diketahui oleh dirinya. Keharaman yang disebut penulis itu cukup jelas, namun pendapat kitab al-Majmu’ dan lainnya menafikannya. Sebab pendapat tersebut seolah jelas-jelas menafikan keharaman itu, kecuali bila dijami’kan (dicarikan titik temunya) dengan mengarahkannya pada kasus ketika khawatir akan mengganggu"

(قَوْلُهُ عَلَى مَا إِذَا خَافَ التَّشْوِيْشَ) أَيْ وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنَ الْحُرْمَةِ عَلَى مَا إِذَا اِشْتَدَّ. وَعِبَارَةُ اْلإِيْعَابِ يَنْبَغِيْ حَمْلُ قَوْلِ الْمَجْمُوْعِ وَإِنْ آذَى جَارَهُ عَلَى إِيْذاَءٍ خَفِيْفٍ يُتَسَامَحُ بِهِ بِخِلاَفِ جَهْرٍ يُعَطِّلُهُ عَنِ الْقِرَاءَةِ بِالْكُلِّيَّةِ فَيَنْبَغِيْ حُرْمَتُهُ

"(Ungkapan penulis: “Pada kasus ketika khawatir akan mengganggu.”) Maksudnya, dan mengarahkan keharaman yang disebut penulis pada kasus ketika sangat mengganggu. Dan redaksi kitab al-I’ab menyebutkan: “Semestinya ungkapan al-Majmu’: “Dan meskipun mengganggu orang yang di dekatnya.” itu diarahkan pada gangguan ringan yang ditolelir. Lain halnya dengan mengeraskan suara yang bisa membuat orang di dekatnya itu lalai dari semaua bacaan al-Qur’annya, maka semestinya hal tersebut haram"

Baca Juga: Hukum Menjawab Akhir Bacaan Surat At-Tin dalam Sholat

2. Kitab Fathul Mu’in

(وَنِيَةُ إِمَامَةٍ) أَوْ جَمَاعَةٍ (سُنَّةٌ لِإِمَامٍ فِيْ غَيْرِ جُمْعَةٍ) لِيَنَالَ فَضْلَ ... جَمَعَةٍ. وَإِنْ نَوَاهُ فِي الْأَثْنَاءِ حَصَلَ لَهُ الْفَضْلُ مِنْ حِيْنَئِذٍ، أَمَّا فِي الْجُمُعَةِ فَتَلْزَمُهُ مَعَ التَّحَرُّمِ

"Niat menjadi imam atau berjamaah bagi imam adalah sunah di luar shalat Jumat, karena untuk mendapatkan keutamaan berjamaah. Seandainya ia niat berjamaah di tengah mengerjakan shalat maka ia mendapatkan keutamaan itu. Adapun dalam shalat jumat wajib baginya niat berjama’ah saat takbiratul ihram"

Wallahu Al'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 27 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 132