Hukum Laki-Laki dan Perempuan dalam Satu Majelis

 
Hukum Laki-Laki dan Perempuan dalam Satu Majelis
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan perkara yang diberikan perhatian secara khusus oleh syari’at. Hal ini tak lain karena segala yang terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan perkara yang sangat dekat dan rentan dengan madzinnatul fitnah (tempat disangkanya kuat terjadi fitnah). 

Diantara kondisi yang sangat rentan dengan fitnah ialah berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam suatu majelis atau kegiatan tanpa ada batas yang memisahkan keduanya atau biasa disebut dengan ikhtilath. Rasulullah SAW telah memberikan peringatan terkait hal ini, peringatan tergambar melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut ini:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ – يَعْنِى ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِى الْيَمَانِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَبِى عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.

“Dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshori dari ayahnya, bahwasanya beliau mendengar Rasulullah bersabda, di saat Rasulullah keluar dari masjid, sedangkan orang laki-laki ikhtilat (bercampur) dengan para wanita di jalan, maka Rasulullah berkata kepada para wanita “minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan,” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya menempel ke tembok karena rapatnya.” (Sunan Abi Daud, 4/543)

Dari hadis di atas tergambar jelas bagaimana Rasulullah tidak menghendaki adanya percampuran antara laki-laki dan perempuan, bahkan di suatu lokasi yang normalnya memang terjadi ikhtilath di sana, yaitu jalan raya. Hal ini juga senada dengan keterangan yang terdapat dalam Kitab - Is'adur Rofiq Wa Bughyatus Sidhiq   juz 2 halaman 67 berikut ini:

( خاتمة ) من أقبح المحرمات وأشد المحظورات اختلاط الرجال بالنساء فى الجموعات لما يترتب على ذلك من المفاسد والفتن القبيحة قال سيدنا الحداد فى بعض مكاتباته لبعض الأمراء وما ذكرتم من اجتماع النساء متزينات بمحل قريب من محل رجال يجتمعون فيه منسوب لسيدنا عمر المحضار فإن خيفت فتنة بنحو سماع صوت فهو من المنكرات التى يجب النهى عنها على ولاة الأمر ويحسن من غيرهم إذا خاف على نفسه أن لا يحضرهم.

“Sebagian dari paling buruk-buruknya perkara haram dan paling beratnya perkara yang dilarang adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam tempat perkumpulan atau pertemuan, karena hal itu dapat menyebabkan kerusakan dan fitnah yang buruk. Imam Al Haddad mengatakan disebagian tulisannya kepada para sebagian umara, yang intinya jika ada perkumpulan perempuan yang berhias berada pada tempat dekat dari tempat perkumpulan laki-laki. Yang ini dinisbatkan kepada Sayyidina Umar Al Muhdhar, jika yang hadir khawatir terjadi fitnah semisal mendengar suara, maka perkara tersebut termasuk munkar yang wajib dicegah oleh pemimpin. Dan baik bagi dirinya jika takut terjadi maka tidak perlu menghadiri.”

Lantas bagaimanakah sesungguhnya hukum percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu majelis? Apakah dilarang secara mutlak ataukah ada syarat-syarat tertentu? sebagaimana keterangan yang tercantum dalam Kitab - Mausu’ah Qowa'idul Fiqih 2/290 berikut ini;

“Terdapat perbedaan dalam hukum bercampurnya laki-laki dan perempuan dari segi kecocokan kaidah syari’at atau tiada adanya kecocokan. Maka haram bercampurnya laki-laki dan perempuan jika memenuhi syarat berikut: pertama, kholwah[1] dengan wanita lain dan melihatnya dengan syahwat. Kedua, menyerahkannya wanita itu dan tidak ada kesopanan pada dirinya. Ketiga, bermain dan bersentuhan pada anggota badan, seperti ikhtilat (bercampur) dalam pesta. Dan ikhtilat dalam permasalahan ini hukumnya haram karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at. Sedangkan diperbolehkan ikhtilat (bercampur) ketika terdapat suatu hajat (kebutuhan) yang disyari’atkan serta tetap menjaga kaidah-kaidah syari’at, oleh karena itu boleh bagi perempuan keluar rumah dengan tujuan shalat jamaah dan shalat hari raya. Dan sebagian ulama membolehkan keluarnya perempuan guna keperluan haji bersama suadara/teman laki-laki yang dapat dipercaya. Begitupun, kebolehan bagi perempuan melakukan muamalah kepada laki-laki semisal jual beli, persewaan, dan lain sebagainya.”

Kitab - Is'adur Rofiq Wa Bughyatus Sidhiq  [2]

قَالَ فِي الزَّوَاجِرِ وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ. وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِنَا عَلَى مَا إِذَا تَحَقَّقَتْ الْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَإِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ. وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.

Dalam Al-Zawajir Ibn hajar Al-Haitami berkata: “Keluarnya wanita dari rumah dengan memakai parfum dan berhias meskipun seizin suami itu dosa besar. Dan agar sesuai dengan kaidah-kaidah madzhab Syafi’iyah mestinya hukum itu diarahkan pada kasus ketika nyata-nyata akan terjadi fitnah. Sedangkan bila hanya menghawatirkannya saja, maka makruh dan bila disertai dugaan kuat akan terjadi fitnah maka haram (namun) bukan dosa besar sebagaimana keterangan yang cukup jelas.”

Fath Al-Wahhab dan Futuhat Al-Wahhab[3]

وَيُكْرَهُ حُضُوْرُهُنَّ الْمَسْجِدَ فِيْ جَمَاعَةِ الرِّجَالِ إِنْ كُنَّ مُشْتَهَاةً خَوْفَ الْفِتْنَةِ (قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ حُضُوْرُهُنَّ) أَي كَرَاهَةَ تَحْرِيْمٍ حَيْثُ لَمْ يَأْذَنْ الْحَلِيْلُ. إهـ. ح ل. إِلَى أَنْ قَالَ: وَيَحْرُمُ عَلَيْهِنَّ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيٍّ أَوْ حَلِيْلٍ أَوْ سَيِّدٍ أَوْ هُمَا فِي أَمَةٍ مُتَزَوِّجَةٍ وَمَعَ خَشْيَةِ فِتْنَةٍ مِنْهَا أَوْ عَلَيْهَا اِنْتَهَتْ (قَوْلُهُ أَيْضًا وَيُكْرَهُ حُضُوْرُهُنَّ الْمَسْجِدَ) أَي مَحَلَّ الْجَمَاعَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِ الرِّجَالِ فَذِكْرُ الْمَسْجِدِ وَالرِّجَالِ لِلْغَالِبِ.

Kaum wanita dimakruhkan mendatangi mesjid yang berisikan jamaah laki-laki jika wanita tersebut musytahah (sudah mengundang birahi laki-laki) karena khawatir timbulnya fitnah. (Ungkapan Syaikh Zakaria Al-Anshari: “Kaum wanita dimakruhkan mendatangi.”) Maksudnya adalah makruh tahrim (haram) bila tanpa seizin suami. Begitu pendapat Al-Halabi.

Dan baginya haram (keluar rumah) tanpa seizin wali, suami, sayyid atau suami dan sayyid bagi budak wanita yang bersuami dan disertai kekhawatiran akan timbut fitnah darinya atau menimpanya. (Ungkapan beliau lagi: “Kaum wanita makruh mendatangi mesjid.”), maksudnya adalah tempat jamaah, meski tidak bersama jamaah laki-laki. Maka penyebutan mesjid dan laki-laki tersebut karena umumnya (saja).

Dari keterangan di atas sudah cukup jelas batasan-batasan diperbolehkannya ikhtilat menurut syari’at Islam. Maka meskipun fenomena yang kita hadapi ikhtilath telah menjadi suatu kebiasaan yang tidak terkontrol di lingkungan pada umumnya, sudah selayaknya kita sebagai kaum muslim yang mengetahui, senantiasa mawas diri dan menjaga diri dari berbagai macam fitnah.

Footnote :
[1] . batasan dinamai khalwat adalah pertemuan yang tidak diamankan terjadi kecurigaan ke arah zina secara kebiasaan berbeda dengan saat dipastikan tidak akan terjadi hal yang demikian secara kebiasaan maka tidak namai khalwat.
[2] Muhammad Babashil, Kitab - Is'adur Rofiq Wa Bughyatus Sidhiq  (Singapura: Al-Haramain, t. th.) Juz II, h. 136.
[3] Sulaiman Al-Jamal, Futuhat Al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr t. th.) Jilid I, h. 503.

 

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 133 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8 Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 30 Juni 2018 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo