Hukum Puasa Sunah dengan Niat Mengganti Puasa Ramadhan

 
Hukum Puasa Sunah dengan Niat Mengganti Puasa Ramadhan

Puasa Sunat dengan Niat Qadha Ramadhan

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat Muktamar tentang nasehat dari sementara ulama kepada murid-muridnya supaya tidak puasa sunat, kecuali dengan niat qadha Ramadhan, padahal di antara mereka ada yang berkeyakinan tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan, sejak mulai baligh. Apakah nasehat itu benar atau tidak?

Jawab :

Orang yang yakin atau menyangka, bahwa ia tidak berkewajiban qadha puasa Ramadhan, maka haramlah niat qadha Ramadhan, karena beriseng-iseng ibadah, bagi orang yang sangsi, maka boleh niat qadha Ramadhan karena salah, (tidak bernazar) maka wajiblah niat qadha. Maka dengan keterangan tersebut, apabila nasehat ulama tersebut kaitannya dengan keterangan di atas, maka benarlah nasehat itu.

Keterangan, dari kitab:

  1. Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah[1]

وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوْءِ هَذِهِ أَنَّهُ لَوْ شَكَّ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءً مَثَلاً فَنَوَاهُ إِنْ كَانَ وَإِلاَّ فَتَطَوَّعَ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ لَهُ الْقَضَاءُ بِتَقْدِيْرِ وُجُوْدِهِ بَلْ وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عَلَيْهِ وَإِلاَّ حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُلُ فِيْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوْءِ إِلَى أَنْ قَالَ: وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلاَّ فَالتَّطَوُّعَ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ إِنْ كَانَ.

Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) bisa dipahami bahwa jika seseorang ragu punya kewajiban mengqadha puasa misalnya, lalu ia niat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan bila tidak maka niat puasa sunnah, maka niatnya itu juga sah, dan qadha puasanya berhasil dengan mengira-ngirakan memang wajib mengqadha, bahkan bila memang jelas wajib mengqadha. Bila tidak, maka ia mendapat puasa sunnah seperti halnya dalam masalah wudhu.

Dengan demikian diketahui, bahwa yang lebih baik bagi orang yang ingin puasa sunnah, maka ia berniat mengqadha puasa wajib bila memang ada kewajiban mengqadha, dan bila tidak maka puasa sunnah, agar menghasilkan qadha bila memang punya kewajiban qadha.

  1. Al-Minhaj al-Qawim[2]

وَتَجِبُ الْمُبَادَرَةُ وَمُوَالَتُهُ إِنْ أَفْطَرَ بِغَيْرِ عُذْرٍ.

Dan harus segera melaksanakan (puasanya) secara bersambung tanpa putus, jika memang berbuka tanpa sebab.

[1] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, 1493 H/1984 M), Jilid II, h. 90.

[2] Ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim pada Muhammad Sulaiman al-Kurdi, Hamisy al-Hawasy al-Madaniyah, (Singapura: al-Haramain, 1397 H), Cet. Ke-2, Jilid II, h. 7.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 157

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10

Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.