Hukum Ucapan Salam Laki- laki Kepada Wanita

 
Hukum Ucapan Salam Laki- laki Kepada Wanita
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarata – Dalam Islam perintah mengucapkan salam berlaku umum untuk seluruh orang beriman, mencakup laki-laki dan perempuan. Seorang pria boleh mengucapkan salam pada mahramnya dan di antara keduanya dianjurkan untuk memulai mengucapkan salam , dan wajib bagi yang lain untuk membalas salam tersebut. Namun, hal ini dikecualikan jika seorang pria mengucapkan salam pada perempuan non mahram. Dalam masalah terakhir ini ada hukum tersendiri. Ada mudharat yang mesti dipertimbangkan ketika memulai atau membalas salam. Bentuk mudharatnya adalah godaan dari si perempuan pada beberapa keadaan. Lantas bagaimana hukumnya seorang laki-laki mengucapkan salam kepada seorang wanita yang bukan mahramnya ini?

Syekh Musthafa Al-‘Adawi mengatakan, “Bukan rahasia lagi bahwa hal itu boleh dilakukan jika dirasa aman dari fitnah. Sebagaimana diketahui bahwa pemberian salam bukan jabat tangan, karena berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram tidak diperbolehkan.”[1]

Dari Asma’ binti Yazid, beliau menyampaikan hadis bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah berjalan di masjid sedang ada segerombolan wanita tengah duduk-duduk, lalu beliau memberi isyarat dengan tangan sembari memberikan salam. [HR. At-Tirmidzi].
An-Nawawi rahimahullah (V/12) mengatakan, “Adapun kaum wanita, jika mereka dalam satu rombongan, maka boleh diberi salam kepada mereka oleh siapa saja sesama muslim. Dan jika hanya seorang diri, maka hanya boleh diberi salam oleh sesama wanita, suami, majikan atau mahramnya, baik dia itu cantik maupun tidak. Sedangkan wanita yang sudah tua yang tidak diminati lagi oleh laki-laki, maka disunnahkan untuk mengucapkan salam. Bagi salah seorang di antara keduanya yang mengucapkan salam terlebih dahulu, maka bagi yang lainnya wajib menjawabnya.

Dan jika seorang wanita yang masih muda atau sudah tua tetapi masih diminati oleh laki-laki, maka laki-laki yang bukan mahram sebaiknya tidak memberi salam kepadanya dan si wanita pun sebaiknya tidak memberi salam kepadanya. Dan jika di antara mereka ada yang memberi salam, maka tidak berhak untuk memberi jawaban dan dimakruhkan untuk memberi jawaban. Inilah yang menjadi pendapat kami dan pendapat Jumhur (mayoritas) ulama.”

Rabi’ah berkata, “Tidak diperbolehkan bagi kaum laki-laki untuk memberi salam kepada kaum wanita dan demikian sebaliknya. Dan ini adalah salah.”

Sementara para ulama Kufah mengatakan, “Tidak diperboleh-kan bagi kaum laki-laki memberi salam kepada kaum wanita jika di antara mereka tidak terdapat mahram. Wallaahu a’lam.”

Syekh Musthafa al-‘Adawi mengatakan, “Saya katakan, “Dan pendapat An-Nawawi rahimahullah disandarkan pada firman Allah SWT:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” [An-Nisaa’ 4: 86]

Dan dengan berdalil salam yang diucapkan oleh Ummu Hani’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hazim dari Sahal, Beliau berkata, “Kami berbahagia pada hari Jum’at. “Aku katakan kepada Sahal, “Ada apa gerangan?” Dia menjawab, “Kami memiliki wanita tua yang mengutus orang untuk mengambil budha’ah -kurma di Madinah-, lalu dia mengambil dari ujung pohon dan melemparnya ke kuali dan dimasukkan biji-bijian gandum. Dan jika kita sudah mengerjakan shalat Jum’at, kami pulang dan memberi salam kepadanya, lalu dia menghidangkan makanan tersebut kepada kami, sehinga kami berbahagia karenanya. Dan tidaklah kami tidur siang dan makan siang, kecuali setelah Jum’at.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

يَا عَائِشَةُ، هَذَا جِبْرِيلُ يُقْرِئُكِ السَّلاَمَ، قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ، قَالَتْ: وَهُوَ يَرَى مَا لاَ نَرَى.

‘Wahai ‘Aisyah, ini Malaikat Jibril memberi salam kepadamu.’ Kukatakan, ‘Wa’alaihissalam warahmatullah (dan semoga keselamatan juga selalu tertuju kepadanya sekaligus rahmat Allah).’” ‘Aisyah berkata, “Dan Malaikat tersebut melihat apa yang tidak kita lihat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Imam Al-Bukhari Rahimahullah telah menggunakan hadis ini sebagai dalil yang membolehkan pemberian salam orang laki-laki kepada orang perempuan, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fathul Baari (XI/33).

Sementara An-Nawawi (V/302) mengatakan, “Di dalamnya -yakni, di dalam hadits tersebut- diceritakan seorang laki-laki mengirimkan salam kepada wanita shalihah yang bukan mahram jika tidak dikhawatirkan akan adanya (dampak buruk). Sedangkan orang yang diberi salam harus menjawab salamnya itu.”

Tidak diragukan lagi bahwa wanita adalah fitnah (godaan) terbesar bagi laki-laki.
Allah SWT berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran: 14)

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) wanita.” (HR. Al-Bukhari  dan Muslim no. 2740)

Laki-laki yang terkena fitnah wanita akan jatuh kepada banyak kerusakan dunia dan kerusakan agama. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memperingatkan para lelaki agar berhati-hati terhadap fitnah wanita. Dari Maimunah bintu Al-Harits radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إن الدنيا حلوةٌ خضرةٌ . وإن اللهَ مستخلفُكم فيها . فينظرُ كيف تعملون . فاتقوا الدنيا واتقوا النساءَ . فإن أولَ فتنةِ بني إسرائيلَ كانت في النساءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah telah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, sehingga Allah melihat apa yang kalian perbuat (di sana). Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah (cobaan) dunia dan takutlah kalian terhadap fitnah (cobaan) wanita. Karena sesungguhnya fitnah (cobaan) pertama pada Bani Isra’il adalah cobaan wanita.” (HR. Muslim no. 2742)

Dan tentu saja berlaku sebaliknya, laki-laki juga merupakan fitnah (godaan) bagi wanita. Sehingga, wanita juga berhati-hati terhadap fitnah dari lawan jenis yang bukan mahram. Oleh karena itu, Allah Ta’ala peringatkan keduanya (laki-laki dan wanita) untuk menundukkan pandangan.
Allah SWT berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’” (QS. An Nur: 30-31)

Lalu, bagaimana dengan ucapan salam dari seorang lelaki kepada wanita yang bukan mahram atau sebaliknya? Jawabannya adalah pada asalnya mengucapkan salam dan menjawab salam hukumnya dianjurkan secara umum kepada sesama jenis ataupun kepada lain jenis. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Jika Engkau diberikan suatu ucapan penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau yang semisal. Sesungguhnya Allah Maha Menghitung segala sesuatu.” (QS. An Nisa: 86)

Dalam ayat ini, perintah untuk membalas salam bersifat umum. Sehingga berlaku untuk laki-laki maupun perempuan, sesama mereka atau kepada lawan jenis. Demikian juga dalam hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا عائِشَةُ هذا جِبْرِيلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلامَ قالَتْ: قُلتُ: وعليه السَّلامُ ورَحْمَةُ اللَّهِ

“Wahai Aisyah, ini malaikat Jibril mengirim salam untukmu”. Aisyah menjawab, “Wa’alaihissalam warahmatullah.” (HR. Bukhari dan Muslim no. 2447)

Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari membawakan hadis di atas dalam bab berjudul,

باب تسليم الرجال على النساء والنساء على الرجال

“Bab bolehnya para lelaki mengucapkan salam kepada para wanita, dan para wanita mengucapkan salam kepada para lelaki.”

Sunnah bagi lelaki mulai memberi salam kepada perempuan, apabila si perempuan itu istrinya sendiri, atau ada hubungan mahram atau jariyahnya, atau nenek-nenek yang telah lanjut, dan tidak menimbulkan asmara, atau kepada wanita yang baik-baik perbuatannya. Dan makruh mulai salam dengan perempuan yang masih menimbulkan asmara dan tidak berombongan, dengan wanita-wanita yang baik perbuatan, dan tidak pula disertai para lelaki. Dan boleh mulai salam, apabila pemberi salam berombongan dengan lelaki, walaupun si perempuan tidak berombongan dengan para wanita yang baik perbuatannya.

Keterangan, dari kitab: I’anah Al-Thalibin [2]

مَسْنُوْنٌ سَلاَمُ امْرَأَةٍ عَلَى امْرَأَةٍ أَوْ نَحْوِ مَحْرَمٍ أَوْ سَيِّدٍ أَوْ زَوْجٍ وَكَذَا عَلَى أَجْنَبِيٍّ وَهِيَ عَجُوْزٌ لاَ تُشْتَهَى وَيَلْزَمُهَا فِيْ هَذِهِ الصُّوَرِ رَدُّ سَلاَمِ الرَّجُلِ أَمَّا مُشْتَاهَةٌ لَيْسَ مَعَهَا امْرَأَةٌ أُخْرَى فَيَحْرُمُ عَلَيْهَا رَدُّ سَلاَمِ أَجْنَبِيٍّ وَمِثْلُهُ ابْتِدَائُهُ، وَيُكْرَهُ رَدُّ سَلاَمِهَا وَمِثْلُهُ ابْتِدَائُهُ أَيْضًا. وَالْفَرْقُ أَنَّ رَدَّهَا وَابْتِدَائَهَا يُطْمِعُهُ. وَلَوْ سَلَّمَ عَلَى جَمْعِ نِسْوَةٍ وَجَبَ رَدُّ إِحْدَاهُنَّ إِذْ لاَ تُخْشَى فِتْنَةٌ حِيْنَئِذٍ. وَقَوْلُهُ رَدُّ سَلاَمِ الرَّجُلِ أَي إِذَا سَلَّمَ الرَّجُلُ عَلَيْهَا وَهِيَ عَجُوْزٌ لاَ تُشْتَهَى لَزِمَهَا أَنْ تَرُدَّ عَلَيْهِ  لِأَنَّ سَلاَمَهُ عَلَيْهَا مَسْنُوْنٌ كَسَلاَمِهَا عَلَيْهِ.

Disunatkan wanita memberi salam kepada wanita lain, mahramnya, majikannya, atau suaminya. Demikian juga kepada pria lain, sementara si wanita tersebut sudah tua dan tidak menimbulkan syahwat. Dalam contoh seperti ini, wajib menjawab salam dari pria tersebut. Adapun jika wanita tersebut masih menimbulkan gairah syahwat, sementara tidak ada wanita lain yang menyertainya, maka ia haram menjawab salam dari pria lain, demikian pula memulai salam. (Bagi laki-laki) makruh menjawab salam dari wanita tersebut, demikian pula memulai memberi salam. Perbedaannya adalah, bahwa jawaban salam wanita dan memulainya dapat membangkitkan gairah laki-laki terhadap wanita tersebut. Andaikan ada pria memberi salam kepada sekelompok wanita, maka salah satu dari mereka harus menjawabnya. Sebab, dalam hal ini tidak dikhawatirkan adanya fitnah. Jika seorang laki-laki memberi salam kepada wanita yang sudah tua dan tidak menimbulkan syahwat, maka wanita tersebut harus menjawab salamnya, karena salam pria kepada wanita tersebut hukumnya sunah, demikian halnya salam wanita tersebut kepada pria.

Mughni Al-Muhtaj [3]

وَلاَ يُكْرَهُ الرَّدُّ عَلَى جَمْعِ نِسْوَةٍ أَوْ عَجُوْزٍ لاِنْتِفَاءِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ بَلْ يُنْدَبُ اْلإِبْتِدَاءُ بِهِ عَلَى غَيْرِهِنَّ وَعَكْسُهُ.

Tidak makruh menjawab salam bagi sekelompok wanita atau yang sudah tua karena tidak ada kekhawatiran timbulnya fitnah, bahkan disunatkan memulai salam oleh sekelompok wanita tersebut kepada selain mereka, dan demikian pula sebaliknya.

 

Footnote :

[1] Jaami’ Ahkaamin Nisaa’, kitab al-Adab, hal. 76.
[2] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah Al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid IV, h. 185. Dikemukakan juga dalam Muhyiddin Al-Nawawi, Al-Adzkar dan Abdul Hamid Al-Syirwani dalam Hasyiyah Al-Syirwani.
[3] Muhammad Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1424 H/2003 M), Jilid IV, h. 267.

_____________
Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 182 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-11 Di Banjarmasin Pada Tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H. / 9 Juni 1936 M.

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Senin, 20 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo