Hukum Menabung Uang ke Bank

 
Hukum Menabung Uang ke Bank

Menitipkan Uang dalam Bank

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank. Kemudian pemerintah menetapkan pajak, karena mendapat bunga. Halalkah bunga itu? Bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanannya saja, tidak ingin bunganya, bolehkan atau tidak?.

Jawab :

Adapun hukumnya bank dan bunganya, itu sama dengan hukumnya gadai yang telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar ke 2 nomor 28.

Keterangan, dari kitab:

  1. 1. Asybah Wa al-Nazhair [1]

لَوْ عَمَّ فِي النَّاسِ اِعْتِيَادُ إِبَاحَةِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ حَتَّى يَفْسُدَ الرَّهْنُ قَالَ الْجُمْهُوْرُ لاَ وَقَالَ الْقَفَّالُ نَعَمْ.

Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu dianggap sama dengan menjadikannya sebagai syarat, sehingga akad gadainya rusak? Jumhur ulama berpendapat: “Tidak diposisikan sebagai syarat.” Sedangkan al-Qaffal berpendapat: “Ya (diposisikan sebagai syarat).

  1. Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin [2]

وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ فِي الرَّدِئِ (بِلاَ شَرْطٍ) فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ إِلَى أَنْ قَالَ: وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ، أَمَّا لَوْ تَوَاقَفَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.

Si peminjam/si pemberi gadaian boleh memanfaatkan sesuatu yang berasal dari orang yang menggadaikan, seperti tambahan pengembalian, baik dalam ukuran atau sifat, atau mengembalikan yang lebih baik dari yang buruk sebelumnya, tanpa disyaratkan dalam akad, bahkan disunahkan yang demikian itu ... Sedangkan pinjaman/gadaian dengan disertai syarat boleh memanfaatkan barang yang digadaikan, maka yang demikian itu bathil sesuai dengan hadis “Semua barang yang digadaikan yang menarik sesutau  manfaat darinya, maka itu berarti riba”. Menurut Imam Ali al-Syibramalisy, dimaklumi bahwa ketidakbolehan tersebut jika memang disyaratkan di tengah akad transaksi. Sedangkan seandainya mereka saling sepakat atas pemanfaatan tersebut, maka tidak dianggap sebagai syarat dalam akad dan tidak rusak (boleh). Adapun hukumnya pajak adalah seperti hukum pajak-pajak yang lain. Adapun menitipkan uang dalam bank, karena keamanannya saja, dan tidak yakin bahwa uangnya dipergunakan untuk larangan agama, maka hukumnya makruh.

[1] Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nazha’ir, (Mesir: Maktabah Mustahafa Muhammad, t. th.), h. 86.

[2] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid III, h. 53.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 204 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-12 Di Malang Pada Tanggal 12 Rabiul Tsani 1356 H. / 25 Maret 1937 M.