Hukum Melaksanakan Shalat Dhuha Berjamaah

 
Hukum Melaksanakan Shalat Dhuha Berjamaah
Sumber Gambar: Foto matin firouzabadi / Unspalsh (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam pelaksanaan shalat sunah para ulama telah membagi ke dalam dua kategori, yaitu shalat sunah yang disunahkan berjama'ah dan shalat sunah yang tidak disunahkan untuk berjama'ah. Shalat sunah yang disunahkan untuk berjama'ah seperti shalat sunah ‘ied, shalat gerhana, shalat istisqa’, dan shalat tarawih.

Adapun shalat sunah yang tidak disunahkan untuk berjama'ah adalah shalat sunah selain yang sudah disebutkan di atas seperti shalat dhuha, shalat tasbih, shalat hajat, shalat tahajud, dan shalat rawatib. Sehingga shalat tersebut disunahkan dilaksanakan secara Munfarid (sendiri). Meskipun tidak disunahkan dilaksanakan secara berjama'ah, namun shalat-shalat tersebut tetaplah sah.

Imam Nawawi menerangkan hal ini dalam kitab Al-Majmu’ Ala Syarh Al-Muhadzzab sebagai berikut:

قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح على الأصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك

"Shalat Sunah dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Shalat yang disunahkan berjamaah yaitu shalat sunah ‘ied, shalat gerhana, dan shalat istisqa’, begitu juga shalat tarawih menurut qaul ashah. Kedua, shalat yang tidak disunahkan berjamaah, tapi jika dilaksanakan dengan cara jamaah, maka shalat tersebut tetap sah. Yaitu shalat selain dari bagian pertama di atas"

Baca Juga: Keutamaan Melaksanakan Shalat Dhuha

Melihat keterangan Imam Nawawi  di atas, maka shalat Dhuha masuk dalam kategori shalat sunah yang tidak disunahkan untuk dilaksanakan secara berjama'ah atau lebih utama dilaksanakan secara sendiri-sendiri.

Namun Islam tidak melarang kalau shalat sunah yang disunahkan dikerjakan secara munfarid seperti shalat Dhuha dilaksanakan secara berjama'ah selama niat dan tujuannya mengandung nilai mashlahat seperti untuk mengajarkan orang lain agar terbiasa melaksanakan shalat sunah Dhuha.

Niat baik tersebut juga memiliki batasan sekiranya tidak menimbulkan mudharat. Misalnya dengan melaksanakan shalat Dhuha secara berjama'ah menjadikan orang memiliki persepsi bahwa shalat Dhuha disunahkan secara berjama'ah secara hukum syara'. Jika sampai hal itu terjadi, shalat Dhuha yang kita laksanakan secara berjama'ah bukan hanya tidak mendapatkan pahala, melainkan haram dan harus dilarang.

Baca Juga: Petunjuk Lengkap Pelaksanaan Shalat Sunah Dhuha

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi sebagai berikut:

تباح الجماعة في نحو الوتر والتسبيح فلا كراهة في ذلك ولا ثواب ، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب ، وأي ثواب بالنية الحسنة ، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه للتعليم فأولى ما أصله الإباحة ، وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوّي بالأكل على الطاعة ، هذا إذا لم يقترن بذلك محذور ، كنحو إيذاء أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة وإلا فلا ثواب بل يحرم ويمنع منها

"Shalat berjamaah pada misalnya shalat witir, dan tasbih, diperbolehkan. Berjamaah dalam hal ini tidak makruh dan juga tidak berpahala. Tetapi, jika diniatkan untuk mendidik dan menganjurkan orang-orang untuk mengamalkannya, maka ia bernilai pahala. Mana saja bernilai pahala jika didasarkan pada niat baik untuk kepentingan pengajaran–seperti kebolehan membaca jahar di tempat sir yang mana itu adalah makruh–maka utamanya adalah kembali ke (hukum) asal, yaitu mubah. Hal ini sama halnya dengan berpahalanya aktivitas mubah bila diniatkan untuk taqarrub kepada Allah SWT seperti aktivitas makan dengan niat memperkuat raga untuk taat kepada Allah. Tentu saja hal itu berlaku bila mana tidak disertai dengan hal yang mengkhawatirkan seperti mengganggu orang lain atau munculnya keyakinan masyarakat atas kesunahan berjamaah sembahyang tersebut. Kalau sembahyang berjamaah itu disertai hal yang mengkhawatirkan, maka tidak berpahala, bahkan haram dan harus dicegah".

Wallahu A'lam


Referensi:
1. Kitab Al-Majmu’ Ala Syarh Al-Muhadzzab karya Imam Nawawi
2. Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi