Menjadi Anggota Organisasi Non Islam

 
Menjadi Anggota Organisasi Non Islam

Muslim Masuk Organisasi yang Tidak Berdasar Islam

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya orang Islam yang masuk pada perkumpulan yang tidak berdasar Islam, bolehkah atau tidak?. Jika tidak boleh, maka bagaimana sikap PBNU terhadap anggota yang ada di dalam perkumpulan tersebut?.

Jawab :

Bahwa orang Islam yang masuk perkumpulan/partai yang tidak berdasar Islam, ditafsil:

  1. Jika sekiranya merugikan Islam maka Haram.
  2. Jika sekiranya menguntungkan Islam maka Baik.
  3. Jika sekiranya tidak merugikan dan tidak menguntungkan Islam maka Boleh (Jaiz).

Keterangan, dari kitab:

  1. Qurrah al-‘Ain li Syarh Waraqat [1]

(وَهِيَ) أَيْ صِيغَةُ الْأَمْرِ (عِنْدَ الْإِطْلَاقِ وَالتَّجَرُّدِ عَنِ الْقَرِينَةِ) الصَّارِفَةِ عَنِ الْوُجُوبِ (تُحْمَلُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْوُجُوبِ نَحْوُ أَقِيمُوا الصَّلَاةَ [الْأَنْعَامُ 72] (إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُ النَّدْبُ) نَحْوُ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْراً [الْنُورُ 33] لِأَنَّ الْمَقَاَم يَقْتَضِى عَدَمَ الْوُجُوبِ فَإِنَّ الْكِتَابَةَ مِنَ الْمُعَامَلَاتِ (أَوِ الْإِبَاحَةُ) نَحْوُ وَإِذَا حَلَّلْتُمْ فَاصْطَادُوا [الْمَائِدَةُ 2] فَإِنَّ الاصْطِيَادَ أَحَدُ وُجُوهِ التِّكَسُّبِ وَهُوَ مُبَاحٌ وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى عَدَمِ وُجُوبِ الْكِتَابَةِ وَالاصْطِيَادِ

(Dan hal itu) maksudnya sighat amr -kata perintah-, (ketika mutlak dan tanpa indikasi) yang membelokkan dari makna wajib, (maka diarahkan menunjukkan makna wajib), maksudnya dipahami dengan makna wajib. Contoh: “Kalian dirikanlah shalat!” [QS. Al-An’am: 72] (Kecuali terdapat dalil yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki adalah makna sunnah), contoh: Maka akadi kitabah mereka para budak, bila kalian ketahui kebaikan mereka.” [QS. al-Nur: 33]. Sebab, konteksnya memastikan tidak berhukum wajib, karena akad kitabah –memerdekakan budak dengan membayar secara bertahap- termasuk mu’amalah. (atau makna mubah), seperti: “Dan ketika kalian sudah bertahallul, maka berburulah.” [QS. al-Maidah: 2]. Sebab, berburu adalah salah satu cara bekerja yang hukumnya mubah. Dan para ulama telah ijma’ atas ketidakwajiban akad kitabah dan berburu.

  1. Qurrah al-‘Ain li Syarh Waraqat [2]

(وَأَمَّا الْحَظَرُ) أَيِ الْحُرْمَةُ (وَالْإِبَاحَةُ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ أَنَّ الْأَشْيَاءَ) بَعْدَ الْبِعْثَةِ (عَلَى الْحَظَرِ) أَيْ مُسْتَمِرَةٌ عَلَى الْحُرْمَةِ لِأَنَّهَا الْأَصْلُ فِيهَا (إِلَّا مَا أَبَاحَتْهُ الشَّرِيعَةُ) وَالاسْتِثْنَاءُ مُنْقَطِعٌ فَإِنَّ مَا أَبَاحَتْهُ الشَّرِيعَةُ الْأَصْلُ فِيهِ أَيْضًا الْحُرْمَةُ عِنْدَهُ (فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ فِي الشَّرِيعَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى الْإِبَاحَةِ يُتَمَسَّكُ بِالْأَصْلِ) وَهُوَ الْحَظَرُ (وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ بِضِدِّهِ)  أَيْ بِضِدِّ هذَا الْقَوْلِ (وَهُوَ أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْأَشْيَاءِ) بَعْدَ الْبِعْثَةِ (أَنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ إِلَّا مَا حَظَرَهُ الشَّرْعُ) أَيْ حَرَّمَهُ وَالصَّحِيحُ التَّفْصِيلُ وَهُوَ أَنَّ أَصْلَ الْمُضَارِّ التَّحْرِيمُ وَالْمَنَافِعِ الْحِلُّ

(Dan adapun hazhar) maksudnya keharaman, (dan mubah, maka sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa sungguh segala perkara) setelah Nabi Saw. diutus (itu hukumnya haram), maksudnya tetap haram, karena keharaman adalah hukum asalnya, (kecuali perkara yang diperbolehkan syariat), dan istitsna’ ini adalah istitsna’ munqathi’. Sebab, perkara yang diperbolehkan syariat menurut pendapat ini huhum asalnya juga haram. (Oleh sebab itu, apabila dalam syariat tidak ditemukan dalil yang memperbolehkannya, maka yang dipedomani adalah hukum asalnya) yaitu haram. (Ada pula ulama yang berpendapat sebaliknya), maksudnya berlawanan dengan pendapat ini, (yaitu sungguh hukum asal dalam segala perkara) setelah  Nabi Saw. diutus (adalah mubah, kecuali perkara yang diharamkan syariat), maksudnya perkara yang diharamkan syariat. Namun pendapat yang shahih adalah sungguh hukum asal setiap perkara yang membahayakan adalah haram dan hukum asal perkara yang bermanfaat adalah halal.

  1. Mirqah Su’ud al-Tashdiq Syarh Sulam al-Taufiq [3]

(تَنْبِيهٌ) لَا تَعَارُضَ بَيْنَ قَوْلِهِ r مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ إِلَى آخِرِهِ [رَوَاهُ مُسْلِمٌ] وَ بَيْنَ قَوْلِهِ تَعَالَى يآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ [الْمَائِدَةُ 2] إِذْ مَعْنَاهُ عِنْدَ الْمُحَقِّقِينَ إِذَا فَعَلْتُمْ مَا كُلِّفْتُمْ بِهِ لَا يَضُرُّكُمْ تَقْصِيرُ غَيْرِكُمْ وَإِذَا كَانَ كَذلِكَ فَمِمَّا كُلِّفَ بِهِ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ فَإِذَا فَعَلَ ذلِكَ وَلَمْ يَمْتَثِلْ الْمُخَاطَبُ فَلَا عَتْبَ بَعْدَ ذلِكَ عَلَى الْفَاعِلِ لِكَوْنِهِ أَدَّى مَا عَلَيْهِ فَإِنَّمَا عَلَيْهِ الْأَمْرُ وَالنَّهْيُ لَا الْقَبُولُ

(Peringatan.) Tidak ada pertentangan antara sabda Nabi Saw. “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah … dan firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; Tiadalah orang yang sesat itu akan membahayakan diri kalian, apabila kalian telah mendapat petunjuk.” [HR. Muslim]. Sebab maknanya menurut para pakar yang pandai menyelesaikan masalah dengan dalil-dalilnya adalah: “Apabila kalian telah melaksanakan hukum yang dibebankan pada kalian, maka kecerobohan orang lain yang sesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian telah mendapat hidayah.” [QS. Al-Maidah: 105]. Bila demikian, maka termasuk hukum yang dibebankan kalian adalah Amr al-Ma’ruf dan Nahi al-Munkar. Ketika dia sudah melaksanakannya dan orang lain yang diajak tidak mengikuti, maka tidak ada cercaan bagi orang yang telah melaksanakannya. Sebab, ia telah melakukan kewajibannya. Dia hanya wajib memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, bukan masalah diterimanya.

[1] Muhammad bin Muhammad al-Rua’aini al-Maliki, Qurrah al-‘Ain li  Syarh Waraqat pada Lathaif al-Isyarat, (Bandung: al-Ma’arif, t. th.) Juz IV, h. 23.

[2] Muhammad bin Muhammad al-Rua’aini al-Maliki, Qurrah al-‘Ain li  Syarh Waraqat al-Imam al-Haramain pada Lathaif al-Isyarat, (Bandung: al-Ma’arif, t. th.) Juz IV, h. 55.

[3] Muhammad Nawawi al-Bantani, Mirqah Su’ud al-Tashdiq Syarh Sulam al-Taufiq, (Bandung: Maktabah Nur Asia, t. th.), h. 16.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 275 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-16 Di Purwokerto Pada Tanggal 26-29 Maret 1946 M.