Hukum Khutbah Jumat Menggunakan Bahasa Indonesia

 
Hukum Khutbah Jumat Menggunakan Bahasa Indonesia
Sumber Gambar: Foto Alena Darmel / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu rukun pelaksanaan shalat Jum'at adalah sebelum pelaksanaan shalat Jum'at harus didahului oleh dua Khutbah. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا 

"Rasulullah SAW berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan Khutbahnya"

Dalam pelaksaanaan Khutbah Jum'at terdapat rukun-rukun Khutbah yang harus dipenuhi oleh seorang Khatib. Di antara rukun-rukun Khutbah yaitu memuji kepada Allah di kedua Khutbah, membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua Khutbah, berwasiat taqwa di kedua Khutbah, membaca ayat Al-Qur'an di salah satu dua Khutbah, dan berdoa untuk kaum mukmin di akhir Khutbah. Kelima rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwalah)

Dalam praktek pelaksanaan Khutbah sering kita dengarkan khatib berkhutbah dengan menerjemahkan kalimat-kalimat khutbah ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Bagaimana hukum khutbah tersebut, sah atau tidak?

Jika Khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahsa Indonesia atau bahasa lain adalah yang tidak termasuk ke dalam lima rukun Khutbah yang sudah disebutkan di atas, dan tidak terlalu panjang sehingga akan memutus muwalah rukun-rukun Khutbahnya, maka hukumnya adalah boleh dan sah-sah saja. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Abu Bakr bin Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I'anatuth Thalibin berikut:

Baca Juga: Hukum Mengucapkan Insya Allah Ketika Khatib Menyeru Ittaqullah

وَشُرِطَ فِيْهِمَا عَرَبِيَّةٌ لِاتِّبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ ( قوله وشرط فيهما ) أَيْ فِيْ الْخُطْبَتَيْنِ وَالْمُرَادُ أَرْكَانُهُمَا كَمَا فِي التُّحْفَةِ ...الى أن قال....وَكَتَبَ سم مَا نَصُّهُ قَوْلُهُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الْأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَا يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالَاةِ اه قال ع ش وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ بِخِلَافِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ فِي الْخُطْبَةِ اهـ

"Disyaratkan dalam dua Khutbah memakai bahasa Arab, maksudnya hanya rukun-rukunnya saja seperti keterangan dalam kitab At-Tuhfah, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. Syaeh Ibnu Qasim menulis, kewajiban memakai bahasa Arab terbatas untuk rukun-rukun Khutbah memberi kesimpulan bahwa selain rukun-rukun Khutbah yaitu beberapa materi yang masih berkaitan dengan Khutbah yang diucapkan dengan selain bahasa Arab tidak dapat mencegah kewajiban muwalah di antara rukun-rukun Khutbah. Syekh Ali Syibramalisi mengatakan, hal ini dibedakan dengan diam yang lama yang dapat memutus muwalah karena di dalamnya terdapat unsur berpaling dari Khutbah secara keseluruhan. Berbeda dengan isi Khutbah dengan selain bahasa Arab yang di dalamnya terdapat sisi mau’izhah secara umum, sehingga tidak mengeluarkannya dari bagian Khutbah"

Kemudian mengutip jawaban dalam keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-20 di Surabaya pada tanggal 10-15 Muharram 1374 H/8-13 September 1954 M hukumnya adalah boleh dan asalkan tidak panjang dan tidak keluar dari peringatan, dengan tidak ada khilaf dalam mazhab Syafi’i. Berikut jawaban engkapnya:

"Hukumnya boleh menerjemahkan khotbah Jum’at selain rukunnya asalkan tidak panjang dan tidak keluar dari peringatan, dengan tidak ada khilaf dalam mazhab Syafi’i. Kalau panjang dan tidak keluar dari peringatan, maka menurut satu pendapat bisa memutuskan muwalat. Akan tetapi kalau panjang dan keluar dari peringatan, maka pasti menghilangkan muwalat seperti diam. Dan tidak boleh ingkar kepada orang yang menerjemahkan"

Adapun keterangan kitab yang menjadi dasar adalah sebagai berikut:

Baca Juga: Hukum Khatib Jumat Mengulang Kalimat Alhamdulillah

1. Kitab Hasyiyah Al-Bujairimi

قَوْلُهُ وَالْمُرَادُ أَرْكَانُهُمَا
 يُفِيدُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مَا بَيْنَ أَرْكَانِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرَّ قَالَ م ر مَحَلُّهُ مَا إذَا لَمْ يَطُلْ الْفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَإِلَّا ضَرَّ لِإِخْلَالِهِ بِالْمُوَالَاةِ كَالسُّكُوتِ بَيْنَ الْأَرْكَانِ إذَا طَالَ بِجَامِعِ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيَّةِ لَغْوٌ لَا يُحْسَبُ لِأَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَا يُجْزِئُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم وَالْقِيَاسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوتِ إعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ بِخِلَافِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش

"Ungkapan Syaikh Zakaria Al-Anshari: Dan yang dimaksud adalah rukun-rukun dua Khutbah Jum’at.”) memberi pengertian, bila Khutbah yang disampaikan selain rukun-rukun dua Khutbah jum’at itu dengan selain bahasa Arab maka tidak apa-apa. Al-Ramli berkata: Penerapan hukum tersebut bila pemisah -antara rukun-rukun Khutbah- dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Bila tidak, maka mempengaruhi keabsahan Khutbah, karena merusak muwalah (kesinambungan antara rukun-rukunnya). Seperti halnya diam di antara rukun ketika diam itu panjang, yakni dengan titik temu bahwa selain bahasa Arab itu laghw (tidak berguna) yang tidak dianggap. Sebab bahasa selain Arab itu tidak mencukupi untuk Khutbah ketika mampu berbahasa arab. Maka bahasa selain Arab itu laghw. Demikian kata Ibn Qasim Al-‘Ubbadi. Namun yang sesuai qiyas adalah tidak apa-apa secara mutlak. Maka antara selain bahasa Arab dan diam dibedakan, yakni bahwa diam itu berpaling dari Khutbah secara total, sedangkan selain bahasa Arab itu dalam sebagian kesempatan mengandung mau’idah (nasehat). Maka dengan hal itu, selain bahasa Arab tidak keluar dari Khutbah. Begitu hemat Ali Syibramallisi"

2. Kitab Tuhfatul Muhtaj

أَمَّا مَنِ ارْتَكَبَ مَا يَرَى إِبَاحَتَهُ بِتَقْلِيْدٍ صَحِيْحٍ فَلاَ يَجُوْزُ اْلإِنْكَارُ عَلَيْهِ

"Adapun seseorang yang melakukan apa yang menurut pendapatnya boleh dengan mengikuti pendapat yang benar, maka ia tidak boleh diingkari"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 26 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi:
1. Kitab I'anatuth Thalibin 
2. Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 276