Penyedap Rasa yang Mengandung Otak Babi

 
Penyedap Rasa yang Mengandung Otak Babi

Pincin [1] (Semacam Bubuk Putih untuk Bumbu) Mengandung Otak Babi

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya Pincin (semacam bubuk putih untuk bumbu) menurut orang yang meyakinkan bahwa pincin itu mengandung otak babi, sucikah atau tidak?.

Jawab :

Menurut pendapat yang kuat hukumnya suci, karena mengamalkan pada asalnya disamakan dengan jukh (sutra halus yang terkenal dengan nama kain laken) yang sudah masyhur dalam perkataan orang banyak pembuatannya dicampur dengan gajih babi.

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin [2]

(قَاعِدَةٌ مُهِمَّةٌ) وَهِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَغُلِبَ عَلَى الظَّنِّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِيْ مِثْلِهِ فِيْهِ قَوْلاَنِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَيِ اْلأَصْلِ وَالظَّاهِرِ أَوِ الْغَالِبِ أَرْجَحُهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ عَمَلاً بِاْلأَصْلِ الْمُتَيَقَّنِ  لِأَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الْغَالِبِ الْمُخْتَلَفِ بِاْلأَحْوَالِ وَاْلأَزْمَانِ وَذَلِكَ (كَثِيَابٍ خُمَّارٍ إِلَى أَنْ قَالَ (وَجُوْخٌ ... (قَوْلُهُ وَجُوخٍ إِلَخ ) إلخ فِيْ الْمُغْنِي سُئِلَ ابْنُ الصَّلاَحِ عَنْ الْجُوْخِ الَّذِيْ اشْتَهَرَ عَلَى أَلْسِنَةِ النَّاسِ أَنَّ فِيْهِ شَحْمُ الْخِنْزِيْرِ فَقَالَ لاَ يُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهِ إِلاَّ بِتَحْقِيْقِ النَّجَاسَةِ

(Kaidah penting) yaitu sesungguhnya sesuatu yang aslinya suci lalu diduga kuat menjadi najis karena pada umumnya barang seperti itu najis, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang terkenal dengan istilah dua pendapat asl (asal) dan zhahir atau ghalib. Pendapat yang lebih unggul adalah sesuatu itu suci berdasarkan hukum asal yang telah diyakini, karena lebih kuat dibanding ghalib (pada umumnya) yang berbeda-beda dalam beberapa kondisi dan waktu. Kasus dari kaidah tersebut seperti pakaian pembuat atau  peminum khamr dan  … jukh … (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Jukh …”) Dalam al-Mughni terdapat redaksi, “Ibn al-Shalah pernah ditanya tentang jukh yang populer dalam perbincangan banyak orang bahwa ia mengandung lemak babi. Maka beliau menjawab: “Jukh tidak dihukumi najis sampai kenajisannya terbukti.

  1. Sunan Abi Dawud [3]

عَنْ قَبِيْصَةَ ابْنِ هُلْبٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ r وَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ إِنَّ مِنَ الطَّعَامِ طَعَامًا أَتَحَرَّجُ مِنْهُ فَقَالَ لاَ يَتَخَلَّجَنَّ فِيْ صَدْرِكَ شَيْءٌ ضَارَعْتَ فِيْهِ النَّصْرَنِيَّة.

Dari Qabishah bin Hulb dari ayahnya yang mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Saw. tatkala ada orang bertanya: “Ada makanan yang  saya hindari.” beliau menjawab: “Janganlah suatu keraguan itu membuat dirimu seperti Rahib Nasrani.” (HR. Abu Dawud)

[1]  Mungkin yang dimaksud pincin adalah micin (bubuk putih untuk bumbu masak).

[2] Zainuddin al-Malibari dan al-Bakri bin Muhammad Syaththa al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Jilid I, h. 124-125.

[3] Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, 1950), Cet. Ke-2, Jilid III, h. 480.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 287 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1 Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H. / 18 - 22 April 1960 M.