Perempuan yang Ditalaq Suaminya Melahirkan Seorang Anak

 
Perempuan yang Ditalaq Suaminya Melahirkan Seorang Anak

Perempuan (yang Dithalaq) Melahirkan Anak Sebelum Lewat Empat Tahun

Pertanyaan :

Perempuan (yang dithalaq suaminya) melahirkan anak sebelum lewat empat tahun, apakah anak itu dapat dipertemukan dengan lelaki yang menthalaq atau tidak?. Demikian pula kalau suami yang mentalaq itu melepaskan anak dengan mengucapkan li’an, apakah anak masih tetap menjadi anaknya suami yang menthalaq atau tidak?.

Jawab :

Dalam muktamar NU ke 5 dan ke 12 pernah memutuskan semacam masalah ini, yakni: Anak tersebut dapat dipertemukan dengan lelaki yang menthalaq, kalau istri belum bersuami lagi yang memungkinkan anak tersebut dari suami yang kedua. Tetapi kalau suami yang menthalaq mengucapkan li’an dengan meniadakan anaknya, maka anak tidak bisa dipertemukan dengan suami yang menthalaq. Keterangan, dalam kitab:

  1. Bughyah al-Mustarsyidin [1]

فَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَوْلُوْدَ عَلَى فِرَاشِ الزَّوْجِ لاَحِقٌ بِهِ مُطْلَقًا إِنْ أَمْكَنَ كَوْنُهُ مِنْهُ وَلاَ يَنْتَفِيْ عَنْهُ إِلاَّ بِاللِّعَانِ وَالنَّفْيُ تَارَةً يَجِبُ وَتَارَةً يَحْرُمُ وَلاَعِبْرَةَ بِإِقْرَارِ الْمَرْأَةِ بِالزِّنَا وَإِنْ صَدَقَهَا الزَّوْجُ وَظَهَرَتْ أَمَارَتُهُ.

Maka kesimpulannya adalah bahwa anak yang dilahirkan dari istri seorang suami itu nasabnya ikut kepadanya secara mutlak billa anak itu mengkin berasal dari hasil persetubuhannya. Dan nasab anak itu tidak bisa ternafikan darinya kecuali dengan sumpah lian. Hukum penafian  itu terkadang wajib dan terkadang haram. Dan pengakuan zina si istri tidak diterima meskipun si suami membenarkannya dan terdapat tanda-tanda yang cukup jelas.

  1. Tuhfah al-Muhtaj [2]

(وَلَوْ أَبَانَهَا) أَيْ زَوْجَتَهُ بِخُلْعٍ أَوْ ثَلاَثٍ وَلَمْ يُنْفِ الْحَمْلَ (فَوَلَدَتْ لِأَرْبَعِ سِنِيْنَ) فَأَقَلَّ وَلَمْ تَتَزَوَّجْ بِغَيْرِهِ أَوْ تَزَوَّجَتْ بِغَيْرِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ كَوْنُ الْوَلَدِ مِنَ الثَّانِي (لَحِقَهُ) وَبَانَ وُجُوْبُ سُكْنَاهَا وَنَفَقَتِهَا وَإِنْ أَقَرَّتْ بِانْقِطَاعِ الْعِدَّةِ لِقِيَامِ اْلإِمْكَانِ إِذْ أَكْثَرُ الْحَمْلِ أَرْبَعُ سِنِيْنَ بِاْلإِسْتِقْرَاءِ إِلَى أَنْ قَالَ: (وَلَوْ طَلَّقَهَا رَجْعِيًّا) فَأَتَتْ بِوَلَدٍ  لِأَرْبَعِ سِنِيْنَ لَحِقَهُ وَبَانَ وُجُوْبُ نَفَقَتِهَا وَسُكْنَاهَا أَيْ وَإِنَّ الْمَرْأَةَ مُعْتَدَّةٌ إِلَى الْوَضْعِ حَتَّى يَثْبُتَ لِلزَّوْجِ رَجْعَتُهَا.

Seandainya suami menceraikan istrinya secara khulu’ atau tiga kali, dan ia tidak mengingkari kehamilannya, lalu si istri melahirkan dalam rentang waktu empat tahun atau kurang, dan belum kawin dengan orang lain, atau sudah kawin dengan orang lain, namun tidak memungkinkan adanya anak tersebut dari suami yang kedua, maka anak tersebut harus diikutkan pada suami yang pertama dan ia berkewajiban memberikan perumahan dan nafkah, meskipun istri tersebut berikrar bahwa ‘iddahnya habis, sebab waktu kehamilan yang paling lama adalah empat tahun sesuai dengan penelitian ... Jika suami tersebut mentalaqnya dengan talaq raj’i dan lalu si istri melahirkan anak dalam rentang waktu empat tahun, maka anak tersebut harus diikutkan sebagai anaknya dan ia pun berkewajiban memberi papan dan pangan si istri. Dan sesungguhnya wanita tersebut ber’iddah sampai melahirkan sehingga ada ketetapan bagi suami untuk merujuknya lagi.

[1] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Bandung: Syirkah Nur Asia, t. th.), h. 236.

[2] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, pada Hasyiyah al-Syirwani, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t. th.), Jilid VIII, h. 243. Demikian pula diterangkan dalam kitab al-Raudh bab “Lamanya Masa Kandungan”, dan kitab Hamisy Tarsyikh.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 292 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1 Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H. / 18 - 22 April 1960 M.