Hukum Mencalonkan Perempuan sebagai Kepala Desa

 
Hukum Mencalonkan Perempuan sebagai Kepala Desa

Perempuan Menjadi Kepala Desa

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya perempuan menjadi Kepala Desa?. Bolehkah atau tidak?.

Jawab :

Sebenarnya mencalonkan orang perempuan untuk pilihan Kepala Desa itu tidak boleh, kecuali dalam keadaan memaksa, sebab disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjadi hakim. Demikianlah menurut mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf. Tetapi mazhab Hanafi memperbolehkan dalam urusan harta benda. Sedang Imam Ibn Jarir memperbolehkan dalam segala urusan dari apa saja.

Keterangan, dari kitab:

  1. Bidayatul Mujtahid [1]

وَكَذَلِكَ اخْتَلَفُوْا فِيْ اِشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فَقَالَ الْجُمْهُوْرُ هِيَ شَرْطٌ فِيْ صِحَّةِ الْحُكْمِ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَجُوْزُ أَنْ تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ قَاضِيًا فِي اْلأَمْوَالِ قَالَ الطَّبَرِي يَجُوْزُ اَنْ تَكُوْنَ حَاكِمًا عَلَى اْلإِطْلاَقِ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ. قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ وَلاَ أَعْلَمُ بَيْنَهُمْ اخْتِلاَفًا فِيْ اشْتِرَاطِ الْحُرِّيَّةِ. فَمَنْ رَدَّ قَضَاءَ الْمَرْاَةِ شَبَّهَهُ بِقَضَاءِ اْلإِمَامَةِ الْكُبْرَى وَقَاسَهَا أَيْضًا عَلَى الْعَبْدِ لِنُقْصَانِ حُرْمَتِهَا. وَمَنْ أَجَازَ حُكْمَهَا فِي اْلأَمْوَالِ فَتَشْبِيْهَا بِجَوَازِ شَهَادَتِهَا فِي اْلأَمْوَالِ وَمَنْ رَأَى حُكْمَهَا نَافِذًا فِيْ كُلِّ شَيْءٍ. قَالَ إِنَّ اْلأَصْلَ هُوَ كُلُّ مَا يَتَأَتَّى مِنْهُ الْفَصْلُ بَيْنَ النَّاسِ فَحُكْمُهُ جَائِزٌ إِلاَّ مَا خَصَّصَهُ اْلإِجْمَاعُ مِنَ اْلإِمَامَةِ الْكُبْرَى. وَأَمَّا اِشْتِرَاطُ الْحُرِّيَّةِ فَلاَ خِلاَفَ فِيْهِ .

Demikian pula para ulama berbeda pendapat tentang persyaratan jenis kelamin laki-laki (untuk menjadi hakim). Mayoritas ulama berpendapat, jenis kelamin laki-laki merupakan syarat keabsahan hukumnya. Imam Abu Hanifah berpendapat, perempuan boleh menjadi hakim dalam masalah harta. Imam al-Thabari berpendapat, perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam hal apapun. Abdul Wahab berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam pensyaratan status merdeka. Maka ulama yang menolak hakim perempuan, maka ia menyamakan hakim perempuan dengan kepimpinan tertinggi (negara) dan mengqiyaskan perempuan dengan budak karena kehormatannya yang kurang. Ulama yang memperbolehkan hakim perempuan untuk masalah harta, maka ia menyamakannya dengan kesaksian perempuan dalam masalah harta. Dan ulama yang memperbolehkan hakim perempuan dalam segala hal, maka ia menyatakan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah setiap perkara yang mudah diputuskan di antara manusia maka hukumnya boleh kecuali kepemimpinan tertinggi Negara yang telah dikhususkan oleh ijma’ (atas ketidakbolehannya). Sedangkan persyaratan merdeka, maka tidak ada khilaf di dalamnya.

  1. Al-Mizan al-Kubra [2]

وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ تَوْلِيَّةُ الْمَرْأَةِ الْقَضَاءَ مَعَ قَوْلِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ إَنَّهُ يَصِحُّ أَنْ تَكُوْنَ قَاضِيَةً فِيْ كُلِّ شَيْءٍ تُقْبَلُ فِيْهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ. وَعِنْدَهُ أَنَّ شَهَادَةَ النِّسَاءِ تُقْبَلُ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ الْحُدُوْدَ وَالْجَرَاحَ فَإِنَّهَا لاَ تُقْبَلُ عِنْدَهُ. وَمَعَ قَوْلِ مُحَمَّدِ بْنِ جَرِيْرٍ الطَّبَرِيِّ يَصِحُّ أَنْ تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ قَاضِيَةً فِيْ كُلِّ شَيْءٍ. فَاْلأَوَّلُ مُشَدَّدٌ وَعَلَيْهِ جَرَى السَّلَفُ وَالْخَلَفُ. وَالثَّانِي فِيْهِ تَخْفِيْفٌ وَالثَّالِثُ مُخَفَّفٌ فَرَجَعَ اْلأَمْرُ إِلَى مَرْتَبَتَيِ الْمِيْزَانِ، وَوَجْهُ الثَّانِي وَالثَّالِثِ إِنْ فَصْلَ الْخُصُوْمَاتِ مِنْ بَابِ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَلَمْ يَشْتَرِطُوْا فِيْ ذَلِكَ الذُكُوْرَةَ. فَإِنَّ الْمُعَوَّلَ عَلَى الشَّرِيْعَةِ الْمُطَهِّرَةِ الثَّابِتَةِ فِي الْحُكْمِ لاَ عَلَى الْحَاكِمِ بِهَا وَقَدْ قَالَ r لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. قَالَ ذَلِكَ لَمَّا وَلَّى جَمَاعَةٌ الْمَلِكَ كِسْرَى ابْنَتَهُ مِنْ بَعْدِهِ الْمُلْكَ. وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْكَشْفِ عَلَى اشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فِيْ كُلِّ دَاعٍ إِلَى اللهِ. وَلَمْ يَبْلُغْنَا إِنَّ أَحَدًا مِنْ نِسَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِ تَصَدَّرَتْ لِتَرْبِيَةِ الْمُرِيْدِيْنَ أَبَدًا لِنَقْصِ النِّسَاءِ فِي الدَّرَجَةِ. وَإِنْ وَرَدَ الْكَمَالُ فِيْ بَعْضِهِنَّ كَمَرْيَمَ ابْنَةِ عِمْرَانَ وَآسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ. فَذلِكَ كَمَالٌ بِالنِّسْبَةِ لِلتَّقْوَى وَالدِّيْنِ لاَ بِالنِّسْبَةِ لِلْحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَسَلِيْكِهِمْ فِي مَقَامَاتٍ الوِلَايَاتِ

Termasuk yang diperselisihkan pada ulama adalah pendapat Imam Tsalatsah (Maliki, Syafi’i dan Hanbali), yaitu sungguh seorang perempuan tidak sah menangani keputusan hukum, dengan pendapat Abu Hanifah yaitu sungguh perempuan itu sah menjadi hakim dalam segala hal yang di dalamnya kesaksian perempuan diterima. Menurut beliau kesaksian wanita itu bisa diterima dalam segala hal kecuali yang berkaitan dengan masalah hukum had-had dan kejahatan (kekerasan) fisik. Begitu pula dengan pendapat Muhammad Ibn Jarir al-Thabari yang menyatakan keabsahan perempuan menjadi hakim dalam hal apapun. Pendapat pertama merupakan pendapat ketat. Dan pendapat inilah yang berlaku bagi ulama salaf dan khalaf. Dalam pendapat kedua terdapat keringanan, dan pendapat ketiga merupakan pendapat sangat ringan. Argumen pendapat kedua dan ketiga adalah bahwa sungguh setiap penentuan hukum atas perseteruan-perseturuan itu termasuk bab amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran) dan dalam hal ini para tidak menyaratkan jenis lelaki. Sementara Rasulullah Saw. sungguh telah bersabda: “Tidak akan pernah sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. Beliau bersabda demikian ketika masyarakat mengangkat putri Raja Kisra (gelar raja Persia zaman dahulu) sebagai ratu sesudahnya. Para ulama ahli kasyf bersepakat atas persyaratan jenis lelaki bagi mursyid yang mengajak kepada ridha Allah. Kita tidak pernah mendengar bahwa salah seorang perempuan al-salaf al-shalih telah tampil sebagai mursyid yang membimbing para murid (untuk wushul ilallah), karena derajat perempuan yang kurang (sempurna). Meskipun ada sebagian yang sempurna dari kalangan mereka, seperti Maryam putri Imran dan Asiyah istri Fir’aun. Maka kesempurnaan mereka tersebut terkait dengan ketakwaan dan agamanya. Tidak terkait dengan penetapan hukum di kalangan masyarakat dan menuntun mereka suluk (menapaki) maqam-maqam kewalian.

[1] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujathid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2006), Juz II, h. 707.

[2] Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Musthafa al-Halabi, t.th.), Cet I, Juz II, h. 189.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 309 KEPUTUSAN RAPAT DEWAN PARTAI NAHDLATUL ULAMA Di Salatiga Pada Tanggal Jumaadil Ulaa 1381 H./ 25 Oktober 1961 M.