Memukul Hewan untuk Memudahkan Penyembelihan

 
Memukul Hewan untuk Memudahkan Penyembelihan

Memukul Hewan untuk Memudahkan Penyembelihan

Pertanyaan :

Memukul hewan untuk memudahkan pemotongan (disembelih) seperti terjadi di rumah pemotongan hewan dengan mesin, hukumnya haram, karena termasuk ta’dzib al-hayawan. Adapun pemotongan (penyembelihan) yang didahului semacam itu, jika pada hewan tersebut masih terdapat hayah mustaqarrah, hukumnya sah dan madzbuhnya halal. Sedangkan menguliti hewan sesudah dipotong (disembelih) tetapi masih bergerak-gerak (belum mati) demikian pula memotong dagingnya, hukumnya makruh, tetapi dagingnya tetap halal.

Jawab :

Keterangan, dari kitab:

  1. Al-Iqna’ [1]

فَلَوْ أَدْخَلَ سِكِّينًا بِأُذُنِ ثَعْلَبٍ مَثَلًا وَقَطَعَ الْحُلْقُومَ وَالْمَرِيءَ دَاخِلَ الْجِلْدِ لِأَجْلِ جِلْدِهِ وَبِهِ حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ حَلَّ وَإِنْ حَرُمَ عَلَيْهِ لِلتَّعْذِيبِ

Seandainya seseorang menusuk pisau ke telinga musang, misalnya dan kemudian ia memotong hulqum (saluran makanan) dan mari’ (saluran nafas)nya dari dalam kulit agar mendapatkan kulitnya -tanpa tersobek- dan hewan tersebut masih dalam kondisi hayat mustaqirrah (hidup secara normal), maka binatang sembelihan tersebut halal walaupun perbuatan tersebut haram, karena mengandung penyiksaan.

2. Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib [2]

وَيُكْرَهُ لَهُ إبَانَةُ رَأْسِهَا حَالًا وَزِيَادَةُ الْقَطْعِ وَكَسْرُ الْعُنُقِ وَقَطْعُ عُضْوٍ مِنْهَا وَتَحْرِيكُهَا وَنَقْلُهَا حَتَّى تَخْرُجَ رُوحُهَا

 Dimakruhkan memisahkan kepalanya seketika (memotong sampai putus), menambah pemotongan, memecahkan leher, memotong anggota tubuhnya, menggerak-gerakkan dan memindahkannya sampai menemui ajalnya.

3. Jawahir al-Iklil ‘ala Syarh al-‘Allamah al-Khalil [3]

(وَكُرِهَ ذَبْحٌ) لِحَيَوَانَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ (بِدَوْرِ حُفْرَةٍ) لِعَدَمِ اسْتِقْبَالِ بَعْضِهَا وَلِنَظَرِ بَعْضِهَا بَعْضًا وَلَهَا الْهَامُّ فَهُوَ تَعْذِيبٌ لَهَا فِيهَا بَلَغَ مَالِكًا t أَنَّ الْجَزَّارِينَ يَجْتَمِعُونَ عَلَى الْحُفْرَةِ يَدُورُونَ بِهَا فَيَذْبَحُونَ حَوْلَهَا فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَهُمْ بِتَوْجِيهِهَا إلَى الْقِبْلَةِ (وَ) كُرِهَ (سَلْخٌ) لِجِلْدِ الْحَيَوَانِ عَنْ لَحْمِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ لِأَنَّهُ تَعْذِيبٌ (أَوْ قَطْعٌ) لِشَيْءٍ مِنْ الْحَيَوَانِ بَعْدَ ذَبْحِهِ أَوْ نَحْرِهِ وَ (قَبْلَ الْمَوْتِ) لِخَبَرِ النَّهْيِ عَنْهُ وَأَنْ تُتْرَكَ حَتَّى تَبْرُدَ أَيْ تَمُوتَ إلَّا السَّمَكَ فَيَجُوزُ إلْقَاؤُهُ فِي النَّارِ قَبْلَ مَوْتِهِ عِنْدَ ابْنِ الْقَاسِمِ (وَ) كُرِهَ (تَعَمُّدُ إبَانَةِ) أَيْ فَصْلِ (رَأْسٍ) عَنْ بَدَنٍ حَالَ الذَّبْحِ لِأَنَّهُ قَطْعٌ قَبْلَ الْمَوْتِ

Dimakruhkan menyembelih binatang dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang bersamaan di satu lobang galian bundar, sebab sebagiannya tidak menghadap kiblat dan sebagian dari binatang itu melihat sebagian yang lain (sedang disembelih), sementara mereka punya rasa kesedihan, maka hal itu berarti menyiksanya di lobang tersebut. Imam Malik pernah mendengar, para jagal berkumpul di suatu lobang galian bundar, mereka mengitari dan melakukan penyembelihan di sekitarnya (secara serentak). Maka beliau lalu melarang mereka berbuat demikian, dan memerintahkan untuk menghadapkan ke kiblat hewan sembelihannya. Dan makruh menguliti hewan sebelum kematiannya, sebab merupakan penyiksaan, atau memotong bagian tertentu dari tubuhnya setelah disembelih sebelum benar-benar mati, sesuai dengan larangan dalam hadits yang melarangnya. Hendaknya dibiarkan sampai dingin, maksudnya mati, kecuali ikan. Maka menurut Ibn al-Qasim boleh memasukkannya ke api sebelum mati. Dan makruh sengaja memisahkan kepala dari badan ketika menyembelih, karena berarti telah memotongnya sebelum mati.

[1]  Muhammad al-Khatib al-Syirbini, al-Iqna’ dalam Hamisy Hasyiyah Sulaiman al-Bujairami, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid IV, h. 297.

[2]  Sulaiman bin Muhammad al-Bujairamai, Hasyiyah Sulaiman al-Bujairami ‘ ala al-Khatib, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid IV, h. 298.

[3] Shalih Abdissami’ al-Azhari, Jawahir al-Iklil ‘ala Syarh al-‘Allamah al-Khalil, (Mesir: Dar al-Rasyad al-Haditsiyah, t. th.), Juz I, h. 213-214.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 344 KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA Di Sukorejo Situbondo Pada Tanggal 13 - 16 Rabiul Awwal 1404 H./18 - 21 Desember 1983 M.