Hukum Rehabilitasi Vasektomi dan Tubektomi

 
Hukum Rehabilitasi Vasektomi dan Tubektomi

Vasektomi dan Tubektomi

Pertanyaan :

Apabila vasektomi dan tubektomi dapat direhabilitasi, bagaimana hukumnya?.

Jawab :

Penjarangan kelahiran melalui cara apapun tidak dapat diperkenankan, kalau mencapai batas mematikan fungsi berketurunan secara mutlak. Karenanya sterilisasi yang diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan berketurunan dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi.  

Keterangan, dari kitab:

1. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [1]

وَكَذلِكَ اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي.

Begitu pula menggunakan obat yang menunda atau memutus kehamilan sama sekali (sehingga tidak hamil selamanya), maka dimakruhkan dalam kasus pertama dan diharamkan dalam kasus kedua.  

2. Nihayah al-Muhtaj [2]

أَمَّا اسْتِعْمَالُ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ دَوَاءً لِمَنْعِ الْحَبَلِ فَقَدْ سُئِلَ عَنْهَا الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ فَقَالَ لَا يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ ذَلِكَ وَظَاهِرُهُ التَّحْرِيمُ وَبِهِ أَفْتَى الْعِمَادُ بْنُ يُونُسَ فَسُئِلَ عَمَّا إذَا تَرَاضَى الزَّوْجَانِ الْحُرَّانِ عَلَى تَرْكِ الْحَبَلِ هَلْ يَجُوزُ التَّدَاوِي لِمَنْعِهِ بَعْدَ طُهْرِ الْحَيْضِ أَجَابَ لَا يَجُوزُ ا هـ  وَقَدْ يُقَالُ هُوَ لَا يَزِيدُ عَلَى الْعَزْلِ وَلَيْسَ فِيهِ سِوَى سَدُّ بَابِ النَّسْلِ ظَنًّا وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئًا وَعَلَى الْقَوْلِ بِالْمَنْعِ فَلَوْ فُرِّقَ بَيْنَ مَا يَمْنَعُ بِالْكُلِّيَّةِ وَبَيْنَ مَا يَمْنَعُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ فَيَكُونُ كَالْعَزْلِ لَكَانَ مُتَّجِهًا وَفِي شَرْحِ التَّنْبِيهِ لِلْبَالِسِيِّ نَحْوُ هَذَا ا هـ كَلَامُ الزَّرْكَشِيّ

“Adapun penggunaan obat seorang pria dan wanita untuk mencegah kehamilan, maka Syaikh Izzuddin telah ditanyakan tentang hal itu. Lalu ia jawab: “Bagi wanita hal itu tidak boleh.” Makna lahiriah jawaban itu adalah mengharamkan. Al-Imad bin Yunus berfatwa dengan hukum haram. Kemudian Syaikh Izzuddin ditanya bila kedua suami istri yang merdeka saling menyetujui untuk menghindari hamil, “Apakah boleh mengkonsumsi obat untuk mencegahnya setelah suci dari haid?” Beliau jawab: “Tidak  boleh.” Sampai disini ungkapan beliau. Dan terkadang bisa disanggah: “Cara tersebut tidak melebihi ‘azl, dan dalam cara itu hanya menutup adanya keturunan secara zhan (prasangka). Sedangkan zhan sama sekali tidak selevel dengan kenyataan.” Berdasar pendapat yang mencegah, bila antara obat yang mencegah kehamilan secara total dan  obat yang mencegahnya sementara waktu dibedakan hukumnya, maka pembedaan itu cukup kuat. Dalam Syarh al-Tanbih karya al-Balisi terdapat pertimbangan semacam ini.”  

3. Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad [3]

وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ

Dan kesimpulan dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haid.  

Pendapat Muktamar :

وَقَدْ فَرَقَ الشِّبْرَامَلِسِيّ بَيْنَ مَا يَمْنَعُ الْحَمْلَ بِالْكُلِّيَّةِ وَبَيْنَ مَا يَمْنَعُهُ مُؤَقَّتًا، وَقَالَ بِتَحْرِيْمِ اْلأَوَّلِ وَاعْتُبِرَ الثَّانِيّ شَبِيْهًا بِالْعَزْلِ بِاْلإِبَاحَةِ. وَصَرَحَ الرَّمْلِيُّ نَقْلاً عَنِ الزَّرْكَشِيِّ بِأَنَّ اسْتِعْمَالَ مَا يَمْنَعُ الْحَمْلَ قَبْلَ إِنْزَالِ الْمَنِيِّ حَالَ الْجِمَاعِ مَثَلاً فَلاَ مَانِعَ مِنْهُ. وَكَذَا اِسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِيْ يُبْطِئُ الْحَبْلَ وَيَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي اْلأَوَّلِ وَيَحْرُمُ فِيْ الثَّانِيّ اهـ. وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقْهِيَّةِ. إِذَا تَعَارَضَ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةً اهـ.

Sungguh al-Syibramallisi membedakan antara obat yang mencegah kehamilan secara total dan obat yang mencegah sementara waktu. Ia menyatakan keharaman yang pertama, dan yang kedua dinyatakan mubah sama dengan ‘azl (mengeluarkan sperma di luar vagina). Al-Ramli secara jelas mengutip dari al-Zarkasyi, bahwa penggunaan obat yang mencegah kehamilan sebelum mani keluar saat persetubuhan umpamanya, itu maka tidak tercegah. Begitu pula menggunakan obat yang menunda atau memutus kehamilan sama sekali (sehingga tidak hamil selamanya), maka dimakruhkan dalam kasus pertama dan diharamkan dalam kasus kedua.  Dan ketika terdapat kondisi darurat, maka berlaku kaidah fiqhiyah, “Jika dua mafsadah bertentangan, maka yang diperhatikan adalah yang paling berbahaya dengan melakukan yang kecil resikonya.”  

Referensi Lain : a. Hasyiyah Syibramallisi, Juz VIII, h. 416.  

[1] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Beirut: Dar al-fikr, t. th.), Jilid II, h. 95.

[2] Muhammad bin Syihabuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-fikr, t. th.), Juz VIII, h. 443.

[3]  Abdurrahman bin Muhammad Ba’ alawi, Ghayah al-Talkhish fi Fatawa Ibn Ziyad pada Bughyah al-Mustarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr,  t. th.), h. 247.

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 381 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-28 Di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26 - 29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 - 28 Nopember 1989 M.