Wali Hakim dalam Pernikahan

 
Wali Hakim dalam Pernikahan

Wali Hakim Dalam Pernikahan

A. Diskripsi Masalah

Mengikuti perkembangan kondisi politik di tanah air pasca Pemilu 1999 ini, kiranya perlu segera ada sikap dan konsep yang jelas dari PBNU, mengenai masalah yang sangat prinsip bagi kaum muslimin, yaitu masalah “wali hakim” dalam pernikahan, apabila Presiden RI dijabat oleh seorang perempuan. Dalam hal ini NU telah menetapkan sejak Bung Karno, bahwa presiden RI adalah wali al-amri al-dharuri bi al-syaukah agar mengesahkan pernikahan yang dilakukan oleh wali hakim.

B. Pertanyaan

a. Apakah wali hakim dalam pernikahan berada di tangan Presiden atau Menteri Agama saja?. b. Bila di tangan Presiden, apakah wanita sah menjadi wali hakim?.

C. Jawaban

a. Wilayah Hakim dalam pernikahan berada di tangan Presiden dan aparat yang ditunjuk Presiden.

D. Dasar Pengambilan Hukum

1. Al-Mughni/al-Syarh al-Kabir [1]

لَا نَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنَّ لِلسُّلْطَانِ وِلَايَةَ تَزْوِيجِ الْمَرْأَةِ عِنْدَ عَدَمِ أَوْلِيَائِهَا أَوْ عَضْلِهِمْ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو عُبَيْدٍ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْلُ النَّبِيِّ  فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ... وَالسُّلْطَانُ هَاهُنَا هُوَ الْإِمَامُ أَوْ الْحَاكِمُ أَوْ مَنْ فَوَّضَا إلَيْهِ ذَلِكَ

Kami tidak mengetahui khilaf di antara ahli ilmu tentang bahwa sulhtan mempunyai wilayah (hak menjadi wali) untuk menikahkan seorang wanita ketika tidak ada walinya, atau ketika mereka enggan menikahkannya. Dan dengan itu Imam Malik, Imam Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan Ashhab al-Ra’yi berpendapat. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw.: “Maka Sulthan adalah wali bagi wanita tang tidak ada walinya.”Sulthan dalam hal ini yaitu penguasa tertinggi negara, hakim atau orang yang mereka berdua beri mandat menagani urusan tersebut.  

2. I’anah al-Thalibin [2]

(قَوْلُهُ وَالْمُرَادُ)

أَيِ السُّلْطَانُ مَنْ لَهُ وِلاَيَةٌ أَيْ عَامَّةٌ أَوْ خَاصَّةٌ ... أَنَّ الْمُرَادَ بِالسُّلْطَانِ كُلُّ مَنْ لَهُ سُلْطَانٌ وَوِلاَيَةٌ عَلَى الْمَرْأَةِ عَامًّا كَانَ كَاْلإِمَامِ أَوْ خَاصًّا كَالْقَاضِيْ وَالْمُتَوَلَّى لِعُقُوْدِ اْلأَنْكِحَةِ

(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Yang dimaksud.”), yakni sulthan adalah orang yang memiliki kekuasaan, baik umum atau khusus ... sungguh yang dimaksud dengan sulthan adalah semua orang yang mempunyai kekuasaan dan hak perwalian bagi wanita, baik secara umum seperti penguasa tertinggi negara, atau secara khusus seperti hakim dan orang yang dijadikan wali untuk pelaksanaan akad nikah.  

3. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [3]

ثُمَّ الْحَاكِمُ عَامًّا كَانَ أَوْ خَاصًّا كَالْقَاضِيْ أَوِ الْمُتَوَلَّى بِعُقُوْدِ اْلأَنْكِحَةِ أَوْ لِهَذَا الْعَقْدِ بِخُصُوْصِهِ

Lalu hakim, baik yang umum atau yang khusus, seperti qadhi (pengulu), orang yang dijadikan wali untuk pelaksanaan akad pernikahan atau untuk akad ini secara khusus.   C. Jawaban

b. Sah karena kelembagaan Presiden sebagai wilayah ‘ammah.  

Dasar Pengambilan Hukum

4. Al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid [4]

( قَوْلُهُ لَا تَعْقِدُ امْرَأَةٌ نِكَاحًا )

أَيْ لَا يَكُونُ لَهَا دَخْلٌ فِيهِ وَالْمُرَادُ بِالنِّكَاحِ أَحَدُ شِقَّيْهِ أَيْ الْإِيجَابِ أَوْ الْقَبُولِ قَالَ ح ل إلَّا إذَا وَلِيَتْ الْإِمَامَةَ الْعُظْمَى فَإِنَّ لَهَا أَنْ تُزَوِّجَ غَيْرَهَا لَا نَفْسَهَا  كَمَا أَنَّ السُّلْطَانَ لَا يَعْقِدُ لِنَفْسِهِ

(Pernyataan Syaikh Zakari al-Anshari: “Wanita tidak boleh melakukan akad nikah.”), maksudnya adalah ia tidak mempunyai wewenang melakukan akad nikah. Yang dimaksud dengan akad adalah salah satu unsurnya, yaitu ijab atau qabul. Al-Halabi berpendapat: “Kecuali jika ia memegang jabatan tertinggi negara, maka ia boleh menikahkan wanita selain dirinya, tidak boleh menikahkan dirinya sendiri seperti sulthan tidak boleh mengakadi untuk dirinya sendiri.  

5. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [5]

(وَقَوْلُهُ وَلاَ غَيْرَهَا)

أَيْ وَلاَ تُزَوِّجُ غَيْرَهَا لاَ بِوِلاَيَةٍ وَلاَ وَكَالَةٍ لِخَبَرِ: لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ... نَعَمْ، إِنْ تَوَلَّتِ امْرَأَةٌ اْلإِمَامَةَ الْعُظْمَى وَالْعِيَاذُ بِاللهِ تَعَالَى نَفَذَتْ أَحْكَامُهَا لِلضَّرُوْرَةِ كَمَا قَالَهُ عِزُّ الدِّيْنِ بْنِ عَبْدِ السَّلاَمِ وَغَيْرُهُ وَقِيَاسُهُ صِحَّةُ تَزْوِيْجِهَا غَيْرَهَا بِالْوِلاَيَةِ الْعَامَّةِ

(Ungkapan Syaikh Ibn Qasim al-Ghazi: “Dan tidak boleh menikahkan selain dirinya.”), yakni dan seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, tidak dengan hak perwalian atau perwakilan, karena hadits: “Perempuan tidak boleh mengawinkan wanita lain, dan tidak boleh pula mengawinkan dirinya sendiri.” ...  Memang begitu, namun bila seorang perempuan menjabat sebagai pimpinan tertinggi Negara, semoga Allah Swt. melindungi kita darinya, maka keputusan hukum-hukumnya berlaku, seperti pendapat ‘Izzuddin bin Abdissalam dan selainnya. Dan qiyasnya yaitu sah ia menikahkan perempuan selainnya dengan kekuasaan umumnya.  

[1] Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.), Juz VII, h. 13.

[2] Muhammad Syaththa al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th) Jilid III, h. 314.

[3] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Jilid II, h. 106.

[4]  Sulaiman al-Bujairami, al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1950), Jilid III, h. 337.

[5] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid II, h. 104.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 422 KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI Pon-Pes. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999