Hak Atas Tanah yang Lebih Dahulu Menguasai

 
Hak Atas Tanah yang Lebih Dahulu Menguasai

Hak Atas Tanah

A. Diskripsi Masalah

Si A telah bertahun-tahun, bahkan turun temurun menempati tanah negara. Belakangan datang si B kepada si A dan memintanya untuk mengosongkan tanah tersebut, karena permohonan pada pemerintah untuk memiliki tanah tersebut dikabulkan. Untuk meyakinkan si A, si B memperlihatkann bukti kepemilikan tanah yang sah.

B. Pertanyaan

Manakah yang berhak atas tanah tersebut?

C. Jawaban

Yang lebih berhak atas tanah tersebut adalah orang yang lebih dulu menguasai tanah tersebut dengan menunjukkan alat bukti yang sah.  

D. Dasar Pengambilan Hukum

1. Bughyah al-Mustarsyidin[1]

(مَسْأَلَةُ ب ش)

أَحْيَا قِطْعَةً مِنْ أَرْضٍ وَتَرَتَّبَتْ يَدُهُ عَلَيْهَا سِنِيْنَ ثُمَّ ادَّعَى آخَرُ جَمِيْعَ اْلأَرْضِ وَأَنَّ الْمُحَيِّيَ بَسَطَ عَلَى بَعْضِهَا مِنْ غَيْرِ مُسَوِّغٍ، فَإِنْ أَقَامَ بَيِّنَةَ مُؤَرِّخَةِ اْلأَحْيَاءِ بِأَنَّ اْلأَرْضَ وَمِنْهَا الْمُدَّعَى مِلْكُهُ وَرَثَهَا مِنْ آبَائِهِ مَثَلًا وَلَيْسَتْ مَوَاتًا، بَلْ لَهَا آثَارُ عِمَارَةٍ وَأَنَّ يَدَهُ مُتَرَتَّبَةٌ عَلَيْهَا بِلاَ مُنَازِعٍ أَوْ أَقَرَّ لَهُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَوْ رَدَّ الْيَمِينَ فَحَلَفَ هُوَ الْمَرْدُودَةَ  تَبَيَّنَ أَنَّ يَدَ الْمُحْيِي عَادِيَةٌ لَكِنْ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِعُذْرِهِ ... وَلَوْ ثَبَتَتْ أَنَّهَا مَوَاتٌ مَلَكَهَا الْمُحَيِّي لِتَرَتُّبِ يَدِهِ عَلَيْهَا

(Kasus dari Syaikh Abdullah bin al-Husain bin Abdillah Bafaqih dan Syaikh Muhammad bin Abi Bakr al-Ayskhar al-Yamani). Bila seseorang membuka sebidang lahan dan telah menguasainya selama bertahun-tahun, lalu ada orang lain yang mengklaim seluruh lahan –adalah miliknya- dan al-muhyi (orang yang membuka lahan itu) menguasai sebagian lahan miliknya tanpa hak, maka bila ia bisa mengajukan bukti sejarah pembukaan lahan yang menyatakan bahwa lahan dan termasuk yang diklaim adalah miliknya, yang ia warisi dari nenek moyangnya misalnya, dan bukan termasuk lahan bebas, bahkan terdapat tanda-tanda pernah dikelola serta penguasaannya atas lahan itu tidak diperselisihkan, atau si terdakwa mengakuinya atau menolak bersumpah lalu si pendakwa mau bersumpah dengan sumpah al-mardudah (yang diberikan kepadanya setelah si terdakwa menolak bersumpah), maka menjadi jelas bahwa penguasaan si al-muhyi adalah suatu kecerobohan, namun ia tidak berdosa karena udzur (atas ketidaktahuannya). … Namun jika terbukti bahwa lahan tersebut adalah lahan bebas, maka si al-muhyi berhak memiliknya, karena ia telah menguasainya.  

2. Bughyah al-Mustarsyidin [2]

(مَسْأَلَةُ ي)

كُلُّ أَرْضٍ حُكِمَ بِأَنَّهَا إِسْلاَمِيَّةٌ لِاسْتِلاَءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا أَوَّلاً وَإِنِ اسْتَوْلَى عَلَيْهَا الْكُفَّارُ بَعْدُ وَمَنَعُوْا الْمُسْلِمِيْنَ كَغَالِبِ أَرْضٍ جاور[3]

حُكْمُهَا حُكْمُ الْمَوَاتِ فَإِذَا أَحْيَاهَا الْمُسْلِمُ لَا غَيْرُهُ وَلَوْ ذِمِيًّا أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ مَلَكَهَا سَوَاءٌ عُلِمَ أَنَّهَا لَمْ تُعْمَرْ قَطُّ أَوْ شُكَّ وَلَيْسَ بِهَا أَثَرُ عِمَارَةٍ وَكَذَا لَوْ عَمَرَهَا كَافِرٌ قَبْلَ اسْتِيلَاءِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ بَعْدَهُ وَلَمْ تَدْخُلْ تَحْتَ يَدِ مُسْلِمٍ قَبْلَ الْعِمَارَةِ أَوْ بَعْدَهَا كَمَا لَوْ شُكَّ فِي الْعِمَارَةِ هَلْ هِيَ إِسْلَامِيَّةٌ أَوْ جَاهِلِيَّةٌ وَلَمْ تَكُنْ تَحْتَ يَدِ أَحَدٍ وَإِلَّا فَلِذِي الْيَدَ وَلَوْ كَافِرًا وَإِنْ حَكَمْنَا بِعَدَمِ صِحَّةِ إِحْيَائِهِ لَهَا لِكَوْنِهَا دَارَ إِسْلَامٍ لِأَنَّ الْيَدَ دَلِيْلُ الْمِلْكِ وَاْلأَصْلُ وَضْعُهَا بِحَقٍّ إِلاَّ أَنْ يَثْبُتَ نَقِيْضُهُ

 (Kasus dari Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya) Seluruh tanah dihukumi sebagai tanah Islam karena pernah dikuasai umat Islam pada awalnya, meski kemudian sesudah itu  dikuasai non muslim, dan mereka melarang umat Islam tinggal di situ. Seperti halnya mayoritas tanah di pulau Jawa yang hukumnya masih berhukum lahan bebas. Maka ketika tanah itu dibuka oleh seorang muslim, bukan selainnya meski non muslim dzimmi, yang diizini oleh penguasa, maka ia berhak memilikinya. Baik tanah itu diketahui belum pernah dibuka sama sekali, atau diragukan dan tidak terdapat bekas-bekas pengelolaannya. Dan begitu pula bila seorang non muslim membuka lahan tersebut sebelum dikuasai oleh umat Islam, atau setelahnya dan belum pernah dimiliki oleh seorang muslim sebelum dikelola non muslim itu, atau setelah dikelola, seperti ketika pengelolaannya diragukan, apakah bersifat Islam atau bersifat Jahiliyah, dan belum pernah dimiliki siapa pun. Bila tidak, maka tanah itu menjadi milik orang yang menguasainya, meski non muslim, meski kita hukumi ketidakabsahan pembukaan lahan itu olehnya karena Jawa  merupakan wilayah Islam. Sebab, penguasaan lahan merupakan tanda hak milik, dan hukum asalnya adalah dilakukan dengan cara yang benar, kecuali ada yang merusaknya.  

4. Fath al-Mu’in [4]

فَلَوْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ لِأَحَدِ الْمُتَنَازِعَيْنِ فِيْ عَيْنٍ بِيَدِهِمَا أَوْ يَدِ ثَالِثٍ أَوْ لاَ بِيَدِ أَحَدٍ بِمِلْكٍ مِنْ سَنَةٍ إِلَى اْلآنَ وَشَهِدَتْ بَيِّنَةٌ أُخْرَى لِلآخَرَ بِمِلْكٍ لَهَا مِنْ أَكْثَرَ مِنْ سَنَةٍ إِلَى اْلآنَ كَسَنَتَيْنِ فَتُرَجَّحُ بَيِّنَةُ ذِيْ اْلأَكْثَرِ لِأَنَّهَا تُثْبِتُ الْمِلْكَ فِيْ وَقْتٍ لا تعارضها فيه الأخرى

Maka bila seorang saksi bersaksi bagi salah satu dari dua pihak yang berseteru dalam barang yang sedang mereka kuasai, atau dikuasai pihak ketiga, atau tidak dia dikuasai siapa pun, tentang hak milik mulai dari setahun lalu sampai sekarang, dan saksi lain bersaksi bagi satu pihak berseteru lainnya, tentang hak milik pada barang itu semenjak lebih dari setahun lalu, seperti dua tahun lalu sampai sekarang, maka diunggulkan saksi pihak yang waktu hak miliknya lebih lama. Sebab saksi itu menetapkan kepemilikan pada waktu yang tidak ditentang pihak lainnya itu.  

5. Hasyiyah al-‘Ibn Qasim al-‘Abbadi [5]

(مَسْأَلَةٌ)

رَجُلٌ بِيَدِهِ رَزْقَةٌ اشْتَرَاهَا ثُمَّ مَاتَ فَوَضَعَ شَخْصٌ يَدَهُ عَلَيْهَا بِتَوْقِيْعٍ سُلْطَانِيٍّ، فَهَلْ لِلْوَرَثَةِ مُنَازَعَتُهُ ؟ الْجَوَابُ : إِنْ كَانَتْ الرَّزْقَةُ وَصَلَتْ إِلَى الْبَائِعِ اْلأَوَّلِ لِطَرِيْقٍ شَرْعِيٍّ بِأَنْ أَقْطَعَهُ السُّلْطَانُ إِيَّاهَا وَهِيَ أَرْضٌ مَوَاتٌ فَهُوَ يَمْلِكُهَا، وَيَصِحُّ مِنْهُ بَيْعُهَا وَيَمْلِكُهَا الْمُشْتَرِيْ مِنْهُ، وَإِنْ مَاتَ فَهِيَ لِوَرَثَتِهِ وَلاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ وَضْعُ الْيَدِ عَلَيْهَا لِأَمْرِ سُلْطَانٍ وَلاَ غَيْرِهِ

(Kasus), seseorang menguasai suatu razqah (bagian harta dari bait al-mal yang diberikan penguasa pada orang tertentu seperti qadhi, mufti, muadzin dan semisalnya) yang ia beli, lalu ia mati. Kemudian seseorang menguasainya dengan perintah penguasa. Maka, apakah ahli waris boleh menggugatnya? Jawab: “Bila razqah sampai pada penjual pertama dengan cara syar’i, yakni penguasa memberikan razqah itu kepadanya pada saat razqah itu berupa lahan bebas, maka penjual itu memilikinya. Maka ia sah menjualnya dan pembeli bisa memiliki darinya. Bila si pembeli mati, maka razqah itu menjadi milik ahli warisnya, dan orang lain  tidak boleh menguasainya dengan perintah penguasa atau selainnya.

Referensi Lain :

  1. Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib, Juz III, h. 199.

 [1] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Bandung: Syirkah Nur Asia, t. th.), h.289.

[2] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Bandung: Syirkah Nur Asia, t. th.), h.167.

[3] Mungkin maksudnya adalah kata  جَاوَةَ(Jawa), seperti dalam redaksi kasus lain dari Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya dalam bab al-Aman wa al-Hudnah wa al-Jizyah. Lihat, Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Indonesia: al-Haramain, t. th.), h.254.

[4] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in pada Tarsyih al-Mustafidin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.),  h. 413.

[5] Ibn Qasim al-Ubbadi, Hasyiyah al-‘Ubbadi pada Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Ubbadi, (Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.), Jilid IX, h. 328.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 428 KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI Pon-Pes. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999