Hukum Zakat dari Hasil Kerja dan Jasa

 
Hukum Zakat dari Hasil Kerja dan Jasa

Zakat Profesi

A. Deskripsi Masalah

Deskripsi masalah UU. RI No. 38 tahun 1999  tentang pengelolaan zakat, Pasal 11 (ayat 2) yang mengatur rincian harta yang dikenai zakat mencakup “hasil pendapatan dan jasa“. Pendapatan itu mancakup gaji, honorarium, dan sebagainya. Jasa memasukkan jasa konsultan, notaris, doktor, biro travel, pergudangan, komissioner, dan lain-lain. Jenis usaha meliputi perhotelan, hiburan, industri, kontraktor, dan lain-lain.

B. Pertanyaan

a. Apakah hasil pendapatan kerja dan jasa yang halal patut dipandang terkena beban zakat menurut syariat?.

b. Sekira terbeban zakat bagaimana penggolongan ke dalam mal zakawi dan berapa ketetapan standar nishab yang harus dipedomani?.

c. Tepatkah bila kadar zakat atau gaji PNS dipotong langsung per bulan oleh Badan Amil Zakat tertentu?.

C. Jawaban

a. Pada dasarnya, semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu’awadhah (tukar-menukar) baik dari hasil kerja profesional/ non profesional maupun hasil industri jasa dalam segala bentuknya yang telah memenuhi persyaratan zakat antara lain, mencapai jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah dikenakan kewajiban zakat. Akan tetapi realitasnya jarang yang bisa memenuhi persyaratan tersebut lantaran tidak terdapat unsur tijarah (pertukaran harta terus-menerus untuk memperoleh keuntungan).

b. Hasil pendapatan kerja dan jasa (yang telah memenuhi persyaratan) dalam konteks zakat digolongkan zakat tijarah yang berpedoman pada standar nishab emas.

c. Tidak boleh. Kalaupun dipahami bahwa gaji wajib dizakati, pemotongan gaji tersebut tetap belum sah diperhitungkan sebagai pembayaran zakat, sebab perhitungan maupun kadar kewajibannya pada akhir tahun bukan dari gaji bruto dan belum diterima oleh pemiliknya.  

D. Dasar Pengambilan Hukum

1. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [1]

(وَإِنَّمَا يَصِيْرُ الْعَرْضُ لِلتِّجَارَةِ إِذَا اقْتُرِنَتْ نِيَّتُهَا بِكَسْبِهِ بِمُعَاوَضَةٍ)

مَحْضَةٍ, وَهِيَ الَّتِيْ تَفْسُدُ بِفَسَادِ عِوَضِهَا (كَشِرَاءٍ) سَوَاءٌ أَكَانَ بِعِوَضٍ أَمْ نَقْدٍ أَمْ دَيْنٍ حَالٍ أَمْ مُؤَجَّلٍ لِانْضِمَامِ قَصْدِ التِّجَارَةِ إِلَى فِعْلِهَا، وَمِنَ الْمَمْلُوْكِ بِمُعَاوَضَةٍ مَا اتَّهَبَهُ بِثَوَابِ أَوْ صَالَحَ عَلَيْهِ وَلَوْ عَنْ دَمٍ وَمَا آجَرَ بِهِ نَفْسَهُ أَوْ مَالَهُ أَوْ مَا اسْتَأْجَرَهُ أَوْ مَنْفَعَةُ مَا اسْتَأْجَرَهُ بِأَنْ كَانَ يَسْتَأْجِرُ الْمَنَافِعَ  يُؤَجِّرُهَا بِقَصْدِ التِّجَارَةِ، أَوْ غَيْرِ مَحْضَةٍ وَهِيَ الَّتِيْ لاَ تَفْسُدُ بِفَسَادِ عِوَضِهَا كَمَا ذَكَرَ ذلِكَ بِقَوْلِهِ (وَكَذَا الْمَهْرُ وَعِوَضُ الْخُلْعِ) فَإِنَّهُمَا يَصِيْرَانِ لِلتِّجَارَةِ إِذَا اقْتُرِنَا بِنِيَّتِهَا (فِي اْلأَصَحِّ) لِأَنَّهُمَا مُلِكَا بِمُعَاوَضَةٍ وَلِهَذَا تَثَبَتْ الشُّفْعَةُ فِيْمَا مُلِكَ بِهِمَا. وَالثَّانِيْ لاَ، لِأَنَّهُمَا لَيْسَا مِنْ عُقُوْدِ الْمُعَاوَضَاتِ الْمَحْضَةِ وَصَحَّحَ فِي الْمَجْمُوْعِ الْقَطْعَ بِاْلأَوَّلِ

(Suatu barang bisa menjadi komoditas tijarah manakala niat tijarahnya disertai usaha mendapatkannya dengan cara tukar menukar) yang murni, yaitu yang rusak dengan sebab rusaknya barang imbalan, seperti jual beli, baik yang dengan ganti barang atau uang, dihutangkan ataupun kontan, karena berkumpulnya niat tijarah dengan praktiknya. Termasuk barang yang dimiliki dengan cara pertukaran adalah hibah yang diterima dengan imbal balik atau yang diakadi damai, meski dalam kasus pembunuhan -diyat dam-, upah atas penyewaan diri atau hartanya, barang atau jasa yang ia sewa, yakni ia menyewa manfaat suatu barang dan ia sewakan dengan maksud tijarah. Atau -pertukaran- yang tidak murni, yaitu -pertukaran-  yang tidak rusak karena rusaknya imbalan, sebagaimana hal itu al-Nawawi sebutkan dengan ucapannya (demikian pula mahar dan imbalan pengganti dalam khulu’). Dua-duanya bisa menjadi tijarah bila disertai dengan niat dagang (menurut pendapat al-ashshah), karena keduanya merupakan barang yang dimiliki dengan jalan pertukaran. Karenanya dalam hal barang yang dimiliki karena menjadi mahar atau imbalan pengganti dalam khulu’ bisa terjadi syuf’ah. Namun menurut pendapat kedua tidak bisa, karena mahar dan imbalan pengganti dalam khulu’ bukan akad pertukaran yang murni. Al-Nawawi dalam al-Majmu’ memastikan bahwa yang benar adalah pendapat pertama.  

2. I’anah al-Thalibin [2]

وَاعْلَمْ أَنَّ لِزَكَاةِ التِّجَارَةِ شُرُوْطًا، سِتَّةً زِيَادَةً عَلَى مَا مَرَّ فِيْ زَكَاةِ النَّقْدَيْنِ. أَحَدُهَا أَنْ يَكُوْنَ مِلْكُ ذَلِكَ الْمَالِ بِمُعَاوَضَةٍ وَلَوْ غَيْرَ مَحْضَةٍ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمُعَاوَضَةِ قِسْمَانِ مَحْضَةٌ وَهِيَ مَا تَفْسُدُ بِفَسَادِ مُقَابِلِهَا كَالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ، وَغَيْرُ مَحْضَةٍ وَهِيَ مَا لاَ تَفْسُدُ بِفَسَادِ مُقَابِلِهَا كَالنِّكَاحِ. ثَانِيْهَا أَنْ تَقْتَرِنَ نِيَّةُ التِّجَارَةِ بِحَالِ الْمُعَاوَضَةِ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ فِي مَجْلِسِهِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَمْلُوْكَ بِالْمُعَاوَضَةِ قَدْ يُقْصَدُ بِهِ غَيْرُهَا فَلاَ بُدَّ مِنْ نِيَّةٍ مُمَيِّزَةٍ إِنْ لَمْ يُجَدِّدْهَا فِيْ كُلِّ تَصَرُّفٍ بَعْدَ الشِّرَاءِ بِجَمِيْعِ رَأْسِ الْمَالِ

Ketahuilah bahwa zakat tijarah memiliki enam syarat sebagai tambahan atas syarat dalam zakat emas dan perak. Pertama, kepemilikan harta tersebut melalui pertukaran meski tidak bersifat murni. Yang demikian karena pertukaran ada 2 jenis; bersifat murni, yaitu yang menjadi rusak karena rusaknya barang imbalannya, seperti menjual dan membeli. Dan bersifat tidak murni, yaitu yang tidak menjadi rusak dengan sebab rusak imbalannya, seperti akad nikah. Syarat kedua, dibarengi dengan niat tijarah begitu terjadi pertukaran, di dalam transaksi itu sendiri atau di tempat transaksi. Yang demikian itu karena sesuatu yang dimiliki dengan jalan pertukaran adakalanya dimaksudkan untuk tijarah dan adakalanya untuk maksud lain, karenanya harus ada niat yang membedakannya jika ia tidak memperbaharui niatnya dalam setiap pengelolaannya setelah membeli dengan seluruh modalnya.  

3. Al-Mauhibah Dzi al-Fadhl [3]

(قَوْلُهُ وَاْلإِجَارَةُ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ)

أَيْ فَإِذَا آجَرَ نَفْسَهُ بِعِوَضٍ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ صَارَ ذَلِكَ الْعِوَضُ مَالَ تِجَارَةٍ. قَالَ فِي التُّحْفَةِ وَالْمَالُ يَنْقَسِمُ إِلَى عَيْنٍ وَمَنْفَعَةٍ وَإِنْ آجَرَهَا فَإِنْ كَانَتْ اْلأُجْرَةُ نَقْدًا عَيْنًا أَوْ دَيْنًا حَالاً أَوْ مُؤَجَّلاً تَأْتِى فِيْهِ مَا يَأْتِى أَيْ مِنَ التَّفْصِيْلِ أَوْ عَرْضًا فَإِنِ اسْتَهْلَكَهُ أَوْ نَوَى قِنْيَتَهُ فَلاَ زَكَاةَ وَإِنْ نَوَى التِّجَارَةَ فِيْهِ اسْتَمَرَّتْ زَكَاةُ التِّجَارَةِ وَهَذَا فِيْ كُلِّ عَامٍ

(Ungkapan penulis: “Dan menyewakan diri atau hartanya.”),  yakni jika seseorang menyewakan dirinya dengan suatu imbalan dengan maksud tijarah, maka imbalan tersebut menjadi harta tijarah. Ibn Hajar al-Haitami dalam Thuhfah al-Muhtaj mengatakan: “Harta itu terbagi 2 macam; benda dan manfaat. Jika seseorang menyewakannya, maka jika upahnya berupa mata uang kontan atau dengan dihutang langsung atau bertempo, maka padanya berlaku perincian hukum. Atau berupa barang, maka jika ia menghabiskannya atau berniat menyimpannya, maka tidak ada kewajiban zakatnya. Dan jika meniati tijarah padanya, maka zakat tijarah terus berlaku padanya, dan ini berlangsung setiap tahun.  

4. Minhaj al-Qawim [4]

(الرَّابِعُ أَنْ يَكُوْنَ التَّمْلِيْكُ بِمُعَاوَضَةٍ)

 مَحْضَةٍ وَهِيَ الَّتِيْ تَفْسُدُ بِفَسَادِ الْعِوَضِ كَالْبَيْعِ وَالْهِبَةِ بِثَوَابٍ وَاْلإِجَارَةِ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ مَا اسْتَأْجَرَهُ. أَوْ غَيْرِ مَحْضَةٍ كَالصِّدَاقِ وَعِوَضِ الْخُلْعِ وَصُلْحِ الدَّمِ. بِخِلاَفِ مَا مَلَكَهُ بِغَيْرِ مُعَاوَضَةٍ كَاْلإِرْثِ وَالْهِبَةِ بِلاَ ثَوَابٍ وَالصَّيْدِ وَمَا اقْتَرَضَهُ أَوْ مَلَّكَهُ بِإِقَالَةٍ أَوْ رَدٍّ بِعَيْبٍ فَلاَ زَكَاةَ فِيْهِ، وَإِنِ اقْتُرِنَ بِهِ نِيَّةُ التِّجَارَةِ لِأَنَّهُ لاَ يُعَدُّ مِنْ أَسْبَابِهَا  لِانْتِفَاءِ الْمُعَاوَضَةِ

(Keempat, kepemilikan terjadi dengan cara pertukaran) yang bersifat murni, yaitu pertukaran  yang rusak karena rusaknya barang imbalan, seperti jual beli dan hibah dengan imbalan, menyewakan diri atau hartanya, atau barang yang ia sewa, atau tukar menukar yang tidak bersifat murni, semisal maskawin, imbalan pengganti dalam khulu’ dan perdamaian (dalam kasus) pembunuhan. Berbeda dengan harta yang dimiliki tanpa pertukaran, semisal warisan, hibah murni, berburu, hutang dan harta yang dimiliki melalui pembatalan akad, atau pengembalian barang karena cacat, maka tidak ada zakat padanya, sekalipun dibarengi dengan niat tijarah, karena barang itu tidak dianggap sebagai sebab tijarah, karena tidak adanya pertukaran.  

5. Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syirwani [5]

(وَإِنَّمَا يَصِيْرُ الْعَرْضُ لِلتِّجَارَةِ إِذَا اقْتُرِنَتْ نِيَّتُهَا بِكَسْبِهِ بِمُعَاوَضَةٍ)

مَحْضَةٍ وَهِيَ مَا تَفْسُدُ بِفَسَادِ عِوَضِهَا (كَشِرَاءٍ) بِعِوَضٍ أَوْ نَقْدٍ أَوْ دَيْنٍ حَالٍ أَوْ مُؤَجَّلٍ وَكَإِجَارَةٍ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ. وَمِنْهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الْمَنَافِعَ وَيُؤَجِّرُهَا بِقَصْدِ التِّجَارَةِ فَفِيْمَا إِذَا اسْتَأْجَرَ أَرْضًا لِيُؤَجِّرَهَابِقَصْدِ التِّجَارَةِ فَمَضَى حَوْلٌ وَلَمْ يُؤَجِّرْهَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ, فَيُقَوِّمُهَا بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ حَوْلاً وَيُخْرِجُ زَكَاةَ تِلْكَ اْلأُجْرَةِ وَإِنْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ لِأَنَّهُ حَالَ الْحَوْلُ عَلَى مَالٍ لِلتِّجَارَةِ عِنْدَهُ, وَالْمَالُ يَنْقَسِمُ إِلَى عَيْنٍ وَمَنْفَعَةٍ، وَإنْ آجَرَهَا فَإِنْ كَانَتْ اْلأُجْرَةُ نَقْدًا عَيْنًا أَوْ دَيْنًا حَالاً أَوْ مُؤَجَّلاً تَأْتِى فِيْهِ مَا مَرَّ

(قَوْلُهُ وَكَإِجَارَةٍ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ إلخ)

عِبَارَةُ الْمُغْنِى وَالنِّهَايَةِ : وَمِنَ الْمَمْلُوْكِ بِمُعَاوَضَةٍ مَا آجَرَهُ بِهِ نَفْسَهُ أَوْ مَالَهُ أَوْ مَا اسْتَأْجَرَهُ أَوْ مَنْفَعَةُ مَا اسْتَأْجَرَهُ بِأَنْ كَانَ يَسْتَأْجِرُ الْمَنَافِعَ وَيُؤَجِّرُهَا بِقَصْدِ التِّجَارَةِ ا هـ وَكَذَا فِي الْعُبَابِ وَشَرْحِهِ إِلاَّ أَنَّهُ أَبْدَلَ الْمَنَافِعَ بِالْمُسْتَغَلاَّتِ، وَفِي الرَّوْضِ وَشَرْحِهِ إِلاَّ قَوْلَهُمْ بِأَنْ كَانَ إلخ قَالَ سم وَقَوْلُهُ أَوْ مَا اسْتَأْجَرَهُ عَطْفٌ عَلَى نَفْسِهِ أَيْ مِنْ الْمَمْلُوكِ بِمُعَاوَضَةِ مَا آجَرَ بِهِ مَا اسْتَأْجَرَهُ وَقَوْلُهُ أَوْ مَنْفَعَةُ مَا اسْتَأْجَرَهُ عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ مَا مِنْ قَوْلِهِ مَا آجَرَ بِهِ نَفْسَهُ أَيْ مِنْ الْمَمْلُوكِ بِمُعَاوَضَةِ مَنْفَعَةِ مَا اسْتَأْجَرَهُ كَذَا يَظْهَرُ فِي مَعْنَى هَذِهِ الْعِبَارَةِ الَّذِي قَدْ يَلْتَبِسُ فَلْيُتَأَمَّلْ ا هـ وَقَالَ ع ش قَوْلُهُ أَوْ مَنْفَعَةَ مَا اسْتَأْجَرَهُ يُتَأَمَّلُ الْفَرْقُ بَيْنَ هَذِهِ وَمَا قَبْلَهَا فَإِنَّ اْلإِجَارَةَ وَإِنْ وَرَدَتْ عَلَى الْعَيْنِ مُتَعَلِّقَةٌ بِمَنْفَعَتِهَا وَقَدْ يُقَالُ الْفَرْقُ ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمُرَادَ مِنْ قَوْلِهِ أَوْ مَا اسْتَأْجَرَهُ الْعِوَضُ الَّذِيْ أَخَذَهُ عَنْ مَنْفَعَةِ مَا اسْتَأْجَرَهُ بِأَنْ آجَرَهُ مَا اسْتَأْجَرَهُ بِدَرَاهِمَ فَهِيَ مَالُ تِجَارَةٍ، وَمِنْ قَوْلِهِ : أَوْ مَنْفَعَةَ إلخ نَفْسُ الْمَنْفَعَةِ كَأَنْ اسْتَأْجَرَ أَمَاكِنَ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ فَمَنَافِعُهَا مَالُ التِّجَارَةِ. انتهى. فَالْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِمْ : أَوْ مَنْفَعَةَ إلخ مَا ذَكَرَهَ الشَّارِحُ بِقَوْلِهِ : وَمِنْهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الْمَنَافِعَ إلخ

(Suatu barang dapat diperuntukkan tijarah bila niat tijarahnya dibarengi dengan usaha mendapatkannya dengan cara pertukaran) murni, yaitu yang rusak sebab rusaknya imbalan, (seperti membeli), baik dengan ganti barang atau uang, hutang hal -yang wajib dilunasi ketika ditagih- ataupun hutang mu’ajjal -yang wajib dilunasi ketika sampai waktu tertentu-, dan seperti menyewakan diri atau hartanya. Termasuk di antaranya adalah ia menyewa suatu manfaat dan menyewakannya dengan maksud tijarah. Maka dalam hal apabila orang menyewa tanah untuk disewakan kembali dengan maksud tijarah, lalu telah lewat masa setahun namun belum disewakannya, maka ia terkena wajib zakat tijarah. Lalu ia hitung tanah itu dengan harga sewa standar selama setahun dan ia keluarkan zakat harga sewa tersebut, meski ia tidak mendapatkannya. Sebab telah lewat masa setahun pada harta tijarah yang dimilikinya. Sementara harta itu terbagi dua jenis; benda dan manfaat barang. Jika tanah tersebut disewakan, maka jika ongkos sewanya kontan, hutang hal atau hutang muajjal, maka padanya berlaku hukum yang telah disebutkan.   (Ungkapan Ibn Hajar al-Haitami: “Dan seperti menyewakan diri atau hartanya …), redaksi dalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj: “Termasuk harta yang dimiliki dengan cara pertukaran  adalah upah atas penyewaan diri atau harta seseorang, barang yang disewanya atau manfaat barang yang disewanya, yakni ia menyewa suatu manfaat dan menyewakannya dengan maksud tijarah.” Sampai di sini redaksi dua kitab tersebut.   Demikian pula dalam kitab al-‘Ubab dan Syarhnya, hanya saja al-Nawawi dan Ibn Hajar mengganti kata الْمَنَافِعَ  -jasa- dengan الْمُسْتَغَلاَّتِ (barang produktif/alat kerja).  Dan -redaksi itu disebut- dalam kitab Raudh al-Thalib dan Syarhnya kecuali ucapan mereka: “Yakni …”.   Ibn Qasim al-‘Abbadi Berkata: “Ungkapan beliau: “Barang yang disewanya.” ‘athaf pada kata نَفْسَهُ, artinya termasuk harta yang dimiliki dengan jalan pertukaran adalah upah dari barang yang ia sewa. Demikianlah makna yang jelas dari redaksi ini yang terkadang menjadi samar -bagi sebagian orang-, maka renungkanlah!.   Dan Ali Syibamallisi berkata: “Ungkapan al-Ramli -dalam Nihayah al-Muhtaj di atas: “Atau manfaat barang yang disewanya.”, kajilah perbedaan antara redaksi ini dengan redaksi sebelumnya. Sebab, meski akad sewa terjadi pada barang, namun berkaitan dengan manfaatnya. Kadang dikatakan: “Perbedaannya jelas”. Karena maksud ucapan beliau: “Barang yang disewanya.” adalah upah yang diambil dari manfaat barang yang disewanya, yakni ia menyewakan barang yang disewanya dengan upah beberapa dirham, maka dirham tersebut merupakan harta tijarah. Dan maksud ucapan beliau: “Atau manfaat …” adalah manfaat itu sendiri.” Sampai di sini ungkpan Ali Sibramallisi. Maka maksud perkataan mereka: “Atau manfaat …” adalah makna yang disampaikan al-Syarih  -Ibn Hajar- dengan ungkapannya: ”Termasuk di antaranya adalah ia menyewa …”.  

[1] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.), Jilid I, h. 398.

[2] Muhammad Syaththa al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) Jilid II, h. 173.

[3] Mahfud al-Termasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1362 H), Jilid IV, h. 31.

[4] Ibn Hajar al-Haitami, Minhaj al-Qawim pada Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1362 H),Jilid IV, h. 31-33.

[5] Ibn Hajar dan Abdul Hamid al-Syirwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syirwani pada Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Ubbadi, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid III, h. 295-296.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 432 HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA Di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423 Tentang : MASAIL DINIYYAH WAQI’IYYAH