Hukum Menikahi Perempuan yang Ditinggal Suaminya

 
Hukum Menikahi Perempuan yang Ditinggal Suaminya
Sumber Gambar: Foto fadhil wy_/ Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Pernikahan merupakan hal yang sangat sakral terutama dalam agama Islam, sehingga hukum tentang aturan pernikahan terbilang cukup kompleks dan rinci. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan madharat yang akan terjadi. Karena pernikahan akan berhubungan dengan status halal atau tidaknya satu pasangan, status anak, warisan, dan lainnya.

Dalam sebuah pernikahan ada beberapa kasus yang terjadi seperti seorang suami yang pergi meninggalkan istrinya dalam waktu yang cukup lama, atau hilang dikarenakan terjadi bencana alam yang keberadaan suaminya tidak diketahui, apakah masih hidup atau tidak dan tidak ada kepastian waktu kapan kembalinya. Suami yang pergi hingga tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang cukup lama dalam fiqih dikenal dengan istilah mafqud.

Dalam kondisi seperti itu ketidakjelasan tersebut menimbulkan masalah dalam rumah tangga, khususnya istri yang perlu mendapat kepastian untuk menikah dengan laki-laki lain. Jika kondisinya seperti di atas lalu sang istri menikah kembali dengan laki-laki lain, bagaimana hukumnya?

Baca Juga: Hukum Menikah sebelum Masa Iddah Selesai

Dalam kondisi demikian terdapat beberapa pendapat dari kalangan ulama dengan rincian sebagai berikut:

1. Menunggu sampai terdapat kepastian mafqud (suami yang meninggalkannya) meninggal dunia
2. Menunggu selama 4 tahun kemudian menjalankan masa 'iddah 4 bulan 10 hari (masa ‘iddah wafat)
3. Sesuai keputusan hakim, baik karena fasakh (pembatalan perkawinan karena sebab yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai), maupun pelanggaran ta’liq thalaq

Kemudian bagaimana hukumnya jika sang suami yang hilang tadi kemudian kembali lagi kepada istrinya dan istri yang ditinggalkan suaminya tersebut telah menikah lagi dengan laki-laki lain?

Dalam kondisi seperti ini ada beberapa pendapat dengan rincian sebagai berikut:

1. Bila istrinya sudah menikah dengan laki-laki lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
a. Istri tersebut tetap menjadi istri suami yang baru. Sebab, pernikahannya dengan suami yang hilang tadi (mafqud) sudah terputus dengan faskh atau keputusan hakim.
b. Suami yang datang kembali memiliki dua pilihan, yaitu: menarik istrinya yang telah menikah dengan laki-laki lain, atau merelakan istrinya menjadi istri suami yang baru dengan kompensasi mahar mitsil yang harus dibayar suami baru tersebut kepadanya.

Adapun dalil dan keterangan adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat 235:

وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

"Janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun"

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an menjelaskan maksud kalimat "Janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikahdalam firman Allah SWT di atas sebagai berikut:

يَعْنِي تَعَالَى ذِكْرَهُ بِقَوْلِهِ  وَلَا تُصَحِّحُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ فِي عِدَّةِ الْمَرْأَةِ الْمُعْتَدَّةِ فَتُوجِبُوهَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُنَّ وَتُعَقِّدُوهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ   يَعْنِي يَبْلُغْنَ أَجَلَ الْكِتَابِ الَّذِي بَيَّنَهُ اللهُ تَعَالَى ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ   [البقرة 234] فَجَعَلَ بُلُوْغَ الْأَجَلِ لِلْكِتَابِ وَالْمَعْنَى لِلْمُتَنَاكِحَيْنِ أَنْ لَا يَنْكِحَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ الْمُعْتَدَّةَ فَيَعْزِمُ عُقْدَةَ النِّكَاحِ عَلَيْهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا فَيَبْلُغُ الْأَجَلُ الَّذِي أَجَّلَهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ لِانْقِضَائِهَا

"Maksud Allah SWT dengan firmanNya: Janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah adalah jangan kalian sahkan akad nikah wanita yang masih dalam masa ‘iddah. Lalu kalian tetapkan wanita tersebut antara kalian dan mereka para wanita, dan kalian nikahi dia sebelum habis masa iddahnya. Firman Allah SWT: Sebelum habis ‘iddahnya adalah sehingga wanita itu sampai pada batas habis masa ‘iddahnya, yang telah dijelaskan Allah SWT dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234). Allah telah menyebutkan batas masa ‘iddah dalam Al-Qur’an. Artinya, bagi sepasang calon pengantin, si calon mempelai laki-laki tidak boleh menikahi calon mempelai perempuan yang masih dalam masa ‘iddah. Lalu ia berkeinginan mengikatnya dengan tali pernikahan, kecuali ia telah menghabiskan masa ‘iddahnya. Maka seketika itu pula batas waktu ‘iddah yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an telah habis". (Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayti al-Qur’an, [Beirut: Dar al-Fikr, t. th.], Jilid II, h. 527)

Surat Al-Baqarah ayat 234:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari"

Surat An-Nisa ayat 24:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki"

Baca Juga: Begini Ketentuan Masa Iddah Perempuan dalam Islam

2. Sunah dan Atsar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ نَهَى النَّبِيُّ : أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ولا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأَذَنَ لَهُ الخَاطِبُ

"Dari Ibn Umar RA ia berkata: Nabi SAW telah melarang orang menjual jualan orang lain, dan melarang orang meminang pinangan orang lain sehingga orang tersebut membatalkan pinangannya lebih dulu atau ia mengizinkannya". (HR. Ashhab al-Sittah, dan ini redaksi dalam Imam Bukhari)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ

"Dari Said bin al-Musayyab, sungguh Umar bin al-Khattab ra. berkata: “Wanita yang kehilangan suaminya, lalu ia tidak mengetahui keberadaannya, maka ia menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani masa iddah empat bulan sepuluh hari, kemudian ia halal (menikah lagi)". (Riwayat Malik) 

Dalam kitab Tanwir al-Hawalik Syarh al-Mutawatha' karangan Imam As-Suyuti, salah satu syarah dari kitab Al-Muwatha' karangan Imam Malik dijelaskan sebagai berikut:

قَالَ مَالِكٌ وَإِنْ تَزَوَّجَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَدَخَلَ بِهَا زَوْجُهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا سَبِيلَ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ إِلَيْهَا قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا وَإِنْ أَدْرَكَهَا زَوْجُهَا قَبْلَ أَنْ تَتَزَوَّجَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا قَالَ مَالِكٌ وَأَدْرَكْتُ النَّاسَ يُنْكِرُونَ الَّذِي قَالَ بَعْضُ النَّاسِ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ يُخَيَّرُ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ إِذَا جَاءَ فِي صَدَاقِهَا أَوْ فِي امْرَأَتِهِ قَالَ مَالِكٌ وَبَلَغَنِي أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا ثُمَّ يُرَاجِعُهَا فَلَا يَبْلُغُهَا رَجْعَتُهُ وَقَدْ بَلَغَهَا طَلَاقُهُ إِيَّاهَا فَتَزَوَّجَتْ أَنَّهُ إِنْ دَخَلَ بِهَا زَوْجُهَا الْآخَرُ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا سَبِيلَ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ الَّذِي كَانَ طَلَّقُهَا إِلَيْهَا قَالَ مَالِكٌ وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي هَذَا وَفِي الْمَفْقُودِ

"Imam Malik berkata: Jika ia menikah setelah selesai masa ‘iddahnya, kemudian suami barunya itu melakukan hubungan badan dengannya ataupun tidak, maka tidak ada jalan bagi suami pertama untuk kembali padanya. Imam Malik berkata: Demikianlah ketentuan masalah ini menurut kami. Namun jika suami lama menemui sang istri sebelum terjadinya pernikahan yang kedua, maka dialah yang lebih berhak terhadap istrinya. Imam Malik berkata: Saya mendapati para ulama mengingkari riwayat yang dikatakan oleh sebagian ulama berasal dari Umar bin al-Khattab, ia berkata: Suami pertama boleh memilih, meminta mahar yang telah diberikan kepada istrinya atau memilih istrinya. Imam Malik berkata: Dan telah sampai kepadaku, bahwa Umar bin al-Khattab berkata tentang wanita yang mendapat talak dari suaminya yang tidak ada di tempat (sedang pergi), kemudian si suami meruju’nya, namun pernyataan ruju’nya tidak sampai ke pihak istri, sementara yang sampai kepadanya hanya talaknya saja, kemudian si wanita itu telah menikah lagi: Sungguh bila suami kedua telah melakukan hubungan badan dengannya ataupun belum, maka tidak ada jalan bagi suami pertama yang telah menjatuhkan talak untuk kembali pada istrinya. Imam Malik berkata: Riwayat ini yang paling aku sukai dari beberapa riwayat yang telah aku dengar tentang kasus ini dan tentang mafqud". (Abdurrahman al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik Syarh al-Mutawatha’, [Mesir: Isa al-Halabi, t. th.], Juz II, h. 95.)

3. Aqwal para Ulama
Dalam kitab Raudhatuth Thalibin, Imam Nawawi menjelaskan pasal tentang suami yang pergi meninggalkan istrinya dan status hukum pernikahan antara istri dan dirinya sebagai berikut:

الْغَائِبُ عَنْ زَوْجِتِهِ إِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ خَبَرُهُ فَنِكَاحُهُ مُسْتَمِرٌّ وَيُنْفِقُ عَلَيْهَا الْحَاكِمُ مِنْ مَالِهِ إِنْ كَانَ فِي بَلَدِ الزَّوْجَةِ مَالٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَتَبَ إِلَى حَاكِمِ بَلَدِهِ لِيُطَالِبَهُ بِحَقِّهَا وَإِنِ انْقَطَعَ خَبَرُهُ وَلَمْ يُوْقَفْ عَلَى حَالِهِ حَتَّى يُتَوَهَّمَ مَوْتُهُ فَقَوْلَانِ الْجَدِيْدُ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ حَتَّى يَتَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ثُمَّ تَعْتَدُّ وَالْقَدِيْمُ أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ ثُمَّ تَنْكِحُ وَمِمَّا احْتَجُّوا بِهِ لِلْجَدِيْدِ أَنَّ أُمَّ وَلَدِهِ لَا تَعْتِقُ وَلَا يُقْسَمُ مَالُهُ وَالْأَصْلُ الْحَيَاةُ وَالنِّكَاحُ

"Pasal tentang suami yang pergi dari istrinya. Jika tidak terputus beritanya, maka status pernikahannnya tetap berlanjut. Dan hakim memberikan nafkah untuk si istri yang diambilkan dari harta suaminya, bila memang hartanya terdapat di daerah tempat tinggal si istri. Jika tidak ada, maka hakim menulis surat kepada hakim di tempat suami berada untuk menuntutkan hak si istri. Jika beritanya terputus, dan tidak bisa dipastikan tentang kondisinya, sehingga ia diduga mati, maka dalam hal ini ada dua pendapat; (1) Qaul Jadid al-Azhhar menyatakan, wanita tersebut tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sampai terbukti kematian atau talaknya, dan kemudian ia menjalani masa ‘iddahnya. (2) Qaul Qadim menyatakan, wanita tersebut menunggu selama 4 tahun, kemudian menjalani masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya (4 bulan 10 hari), kemudian sudah diperbolehkan menikah. Hujjah yang disampaikan para ulama atas qaul jadid adalah, bahwa budak wanita yang melahirkan anak seorang sayyid yang mafqud tidak merdeka dan hartanya tidak boleh dibagi. Selain itu, hukum asal dalam masalah ini adalah si suami pertama masih hidup dan pernikahan masih sah". (Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, [Beirut: al-Maktab al-Islami, t. th.], Cet. ke-2, Jilid VIII, h. 400)

Dalam penjelasan selanjutnya, Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

السَّادِسَةُ إِذَا ظَهَرَ الْمَفْقُوْدُ فَإِنْ قُلْنَا بِالْجَدِيْدِ فَهِيَ زَوْجُتُهُ بِكُلِّ حَالٍ فَإِنْ نَكَحَتْ لَمْ يَطَأْهَا الْمَفْقُوْدُ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّةُ النَّاكِحُ وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَدِيْمِ فَفِيْهِ طُرُقٌ أَحَدُهَا عَنْ أَبُو عَلِيِّ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالطَّبَرِيُّ أَنَّ الْحُكْمَ كَذَلِكَ لِأَنَّا تَيَقَّنَّا الْخَطَأَ فِي الْحُكْمِ بِمَوْتِهِ فَصَارَ كَمَنْ حَكَمَ بِالْإِجْتِهَادِ ثُمَّ وَجَدَ النَّصَّ بِخِلَافِهِ وَهَذَا أَصَحُّهُمَا عِنْدَ الرَّوْيَانِيُّ الثَّانِي إِنْ قُلْنَا يَنْفُذُ الْحُكْمُ بِالْفُرْقَةِ ظَاهِرًا فَقَطْ فَالْحُكْمُ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ قُلْنَا يَنْفُذُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا فَقَدِ ارْتَفَعَ نِكَاحُ الْأَوَّلِ كَالْفَسْخِ بِالْإِعْسَارِ فَإِنْ نَكَحَتْ فَهِيَ زَوْجَةُ الثَّانِي قَالَهُ أَبُوْ إِسْحَقَ وَالثَّالِثُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ أَيْضًا إِنْ ظَهَرَ وَقَدْ نَكَحَتْ لَمْ تُرَدَّ إِلَى الْمَفْقُوْدِ وَإِنْ لَمْ تَنْكَحْ رُدَّتْ إِلَيْهِ وَإِنْ حَكَمَ الْحَاكِمُ بِالْفُرْقَةِ وَالرَّابِعُ لَا تُرَدُّ إِلَى الْأَوَّلِ قَطْعًا وَالْخَامِسُ عَنِ الْكَرَابِيْسِيُّ عَنِ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُمَا اللهُ تَعَالَى أَنَّ الْمَفْقُوْدَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَنْزِعَهَا مِنَ الثَّانِي وَبَيْنَ أَنْ يَتْرُكَهَا وَيَأْخُذَ مِنْهُ مَهْرَ الْمِثْلِ وَمُسْتَنَدُهُ أَنَّ عُمَرَ  قَضَى بِهِ وَعَنْ الْقَاضِي حُسَيْنِ زِيَادَةٌ فِيْهِ وَهِيَ أَنَّهُ إِنْ فَسَّخَ غَرَمَ الثَّانِيَ مَهْرَ مِثْلِهَا وَالسَّادِسُ أَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ كَانَ ارْتَفَعَ بِلَا خِلَافٍ لَكِنْ إِذَا ظَهَرَ الْمَفْقُودُ هَلْ يُحْكُمُ بِبُطْلَانِ نِكَاحِ الثَّانِي وَجْهَانِ أَصَحُّهُمَا لَا لَكِنْ لِلْمَفْقُودِ الْخِيَارُ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِذَا قُلْنَا نِكَاحُ الثَّانِي بَاطِلٌ فَهَلْ نَقُولُ وَقَعَ صَحِيحًا ثُمَّ إِذَا ظَهَرَ الْمَفْقُودُ بَطَلَ أَمْ نَقُولُ نَتَبَيَّنُ بِظُهُورِ الْمَفْقُودِ أَنَّهُ وَقَعَ بَاطِلًا وَجْهَانِ فَعَلَى الثَّانِي يَجِبُ مَهْرُ الْمِثْلِ إِنْ جَرَى دُخُولٌ وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ وَعَلَى الْأَوَّلِ الْوَاجِبُ الْمُسَمَّى أَوْ نِصْفَهُ وَلَوْ ظَهَرَ الْمَفْقُودُ وَقَدْ نَكَحَتْ وَمَاتَتْ فَهَلْ يَرِثُهَا الْأَوَّلُ أَمْ الثَّانِي يَخْرُجُ عَلَى هَذِهِ الطُّرُقِ

"Kasus keenam dari khilaf tentang mafqud. Bila suami yang menghilang muncul, maka bila kita menggunakan qaul jadid, maka bagaimanapun si wanita tetap menjadi istrinya. Bila si wanita sudah menikah lagi, maka suami pertama (mafqud) tidak boleh bersetubuh dengannya, sampai si wanita menghabiskan masa ‘iddah dari suami kedua. Bila kita menggunakan qaul qadim, maka terdapat beberapa riwayat. Pertama, dari Abu Ali bin Abu Hurairah dan al-Thabari, menyatakan bahwa hukumnya sama dengan seperti di atas (qaul jadid). Sebab, kita telah meyakini kesalahan dalam menghukumi mati suami pertama. Seperti halnya orang yang menghukumi berdasarkan ijtihad, lalu ia temukan nash yang berlawanan dengannya. Riwayat ini yang lebih shahih dari dua riwayat yang ada, demikian menurut al-Rauyani. Kedua, biila kita menghukumi dengan terjadinya perceraian (nikah si istri dan suami pertama) secara dhahirnya saja, maka hukumnya seperti yang telah kami sebutkan (qaul jadid). Sementara bila kita menghukumi dengan terjadinya perceraian (nikah si istri dan suami pertama) secara dhahir dan batin, maka pernikahan suami pertama batal, seperti kasus faskh sebab suami tidak mampu memberi nafkah. Bila si istri sudah menikah lagi, maka ia tetap menjadi istri suami kedua. Demikian pendapat Ibn Ishaq. Ketiga, diriwayatkan pula dari Ibn Ishaq, bila suami pertama muncul, sedangkan si wanita sudah menikah lagi, maka ia tidak dikembalikan kepadanya. Namun bila belum menikah lagi, maka ia dikembalikan kepadanya, sekalipun hakim telah memutuskan perceraian antara keduanya. Keempat, istri tidak dikembalikan pada suami pertama, tanpa khilaf. Kelima, dari al-Karabisi, dari Imam Syafi’i -rahimahumallah ta’ala- menyatakan, suami pertama mempunyai dua opsi, yaitu antara mengambilnya dari suami kedua, atau membiarkannya tetap menjadi istri suami kedua, dan ia mengambil kompensasi mahar mitsli (dari suami kedua). Dasar hukumnya adalah riwayat tentang Umar RA yang pernah memberi keputusan hukum demikian. Dalam riwayat al-Qadhi Husain terdapat tambahan riwayat Umar RA tersebut, yaitu: Bila suami pertama memfaskh pernikahan si istri dan suami kedua (lalu mengambil kembali istrinya tersebut), maka ia harus memberi kompensasi sebesar mahar mitsli kepada suami kedua. Keenam, pernikahan suami pertama terhapus, tanpa terdapat khilaf di kalangan, tetapi bila suami pertama muncul, maka apakah pernikahan suami yang kedua dihukumi batal? Dalam kasus ini terdapat dua wajah (pendapat Ashhab Syafi’i). (i) Al-Ashhah menyatakan tidak batal, namun suami pertama memiliki dua opsi yang telah kami sebutkan tadi (dalam riwayat kelima). (ii) Bila kita menggunakan pendapat yang membatalkan akad nikah suami kedua, maka (a) apakah kita hukumi pernikahan tersebut sah secara hukum? Kemudian saat suami pertama muncul, menjadi batal? Ataukah (b) dengan kemunculannya, kita hukumi batal pernikahan kedua tersebut sejak awal? Maka dalam kasus ini terdapat dua pendapat ashhab. Maka berdasarkan pendapat kedua (b), bila dalam pernikahan kedua sudah terjadi persetubuhan antara suami kedua dan si istri, maka suami kedua wajib memberi mahar mitsli kepada suami pertama. Bila belum, maka ia tidak harus memberi apa-apa. Sementara menurut pendapat pertama (a), maka suami pertama wajib memberi mahar musamma (yang disebutkan dalam akad) atau separonya kepada suami kedua. Dan bila suami pertama muncul, sedangkan si istri telah menikah lagi dan kemudian meninggal dunia, maka apakah yang menjadi ahli warisnya suami pertama? ataukah suami kedua? Maka kasus ini, bisa diselesaikan dengan keenam riwayat (riwayat 1 sampai riwayat 6) ini". (Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, [Beirut: al-Maktab al-Islami, t. th.], Cet. ke-2, Jilid VIII, h. 402-403)

السَّابِعَةِ إِذَا نَكَحَتْ عَلَى مُقْتَضَى الْقَدِيمِ وَأَتَتْ بِوَلَدٍ يُمْكِنُ كَوْنُهُ مِنَ الثَّانِي وَجَاءَ الْمَفْقُوْدُ وَلمَ يَدَعِ الْوَلَدَ فَهُوَ لِلثَّانِي لِأَنَّ بِمُضِيِّ أَرْبَعِ سِنِيْنَ يَتَحَقَّقُ بَرَاءَةُ الرَّحْمِ مِنَ الْمَفْقُودِ

"Kasus ketujuh dari khilaf tentang mafqud. Bila si wanita sudah menikah lagi sesuai dengan ketentuan qaul qadim, dan ia melahirkan seorang anak yang dimungkinkan dari suami kedua. Kemudian suami pertama muncul, namun ia tidak mengklaim anak tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut dihukumi sebagai anak suami kedua. Sebab, dengan melewati masa empat tahun, terbukti sudah bersihnya rahim istri dari air mani suami pertama". (Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, [Beirut: al-Maktab al-Islami, t. th.], Cet. ke-2, Jilid VIII, h. 402-403)

Dalam kitab Tuhfah Al- Muhtaj dijelaskan sebagai berikut:

(وَمَنْ غَابَ)
بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ وَلِأَنَّ مَالَهُ لَا يُورَثُ وَأُمَّ وَلَدِهِ لَا تُعْتَقُ فَكَذَا زَوْجَتُهُ نَعَمْ لَوْ أَخْبَرَهَا عَدْلٌ وَلَوْ عَدْلَ رِوَايَةٍ بِأَحَدِهِمَا حَلَّ لَهَا بَاطِنًا أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ وَلَا تُقَرَّ عَلَيْهِ ظَاهِرًا خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ وَيُقَاسُ بِذَلِكَ فَقْدُ الزَّوْجَةِ بِالنِّسْبَةِ لِنَحْوِ أُخْتِهَا أَوْ خَامِسَةٍ إذَا لَمْ يُرِدْ طَلَاقَهَا (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ  بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ

"(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin. Sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya. Juga mengingat, hartanya tidak bisa diwaris, dan budak perempuan yang melahirkan anaknya tidak dihukumi merdeka. Maka, demikian pula hukum yang berlaku bagi istrinya. Meskipun begitu, bila ada orang adil, walaupun adil dalam periwayatan, yang memberitakan salah satu kematian atau talaknya), maka secara hukum batin ia boleh menikah dengan laki-laki lain dan -namun- tidak di akui secara hukum dzhahir". ( Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj pada Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Abbadi, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996], Cet. ke-1, Jilid X, h. 456-457)

Baca Juga: Berapakah Masa Iddah Perempuan yang Tidak Pernah Haid?

Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari menjelaskan sebagai berikut:

قَوْلُهُ
(وَقَالَ الزُّهْرِيُّ فِي الْأَسِيْرِ يُعْلَمُ مَكَانُهُ لَا تَتَزَوَّجُ امْرَأَتُهُ وَلَا يُقَسَّمُ مَالُهُ فَإِذَا انْقَطَعَ خَبَرُهُ فَسُنَّتُهُ سُنَّةُ الْمَفْقُودِ) وَصَلَهُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ طَرِيقِ الْأَوْزَاعِي قَالَ سَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ عَنِ الْأَسِيرِ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ مَتَى تَزَوَّجَ امْرَأَتُهُ فَقَالَ لَا تَزَوَّجُ مَا عَلِمَتْ أَنَّهُ حَيٌّ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ يُوْقَفُ مَالُ الْأَسِيرِ وَامْرَأَتُهُ حَتَّى يَسْلَمَا أَوْ يَمُوتَا وَأَمَّا قَوْلُهُ (فَسُنَّتُهُ سُنَّةُ الْمَفْقُودِ) فَإِنَّ مَذْهَبَ الزُّهْرِيِّ فِي امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ أَنَّهَا تَرَبُّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ وَقَدْ أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ عَنْ عُمَرَ مِنْهَا لِعَبْدِ الرَّزَّاقِ مِنْ طَرِيقِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ وَاتَّفَقَ أَكْثَرُهُمْ عَلَى أَنَّ التَّأْجِيلَ مِنْ يَوْمٍ تَرْفَعُ أَمْرَهَا لِلْحَاكِمِ وَعَلَى أَنَّهَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ بَعْدَ مُضِيِّ الْأَرْبَعِ سِنِينَ وَاتَّفَقُوْا أَيْضًا عَلَى أَنَّهَا إِنْ تَزَوَّجَتْ فَجَاءَ الزَّوْجُ الْأَوَّلُ خُيِّرَ بَيْنَ زَوْجِتِهِ وَبَيْنَ الصَّدَاقِ وَقَالَ أَكْثُرُهُمْ إِذَا اخْتَارَ الْأَوَّلُ الصَّدَاقَ غَرَمَهُ لَهُ الثَّانِي وَلَمْ يُفَرِّقْ أَكْثُرُهُمْ بَيْنَ أَحْوَالِ الْفَقْدِ إِلَّا مَا تَقَدَّمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَفَرَّقَ مَالِكٌ بَيْنَ مَنْ فُقِدَ فِي الْحَرْبِ فَتُؤَجَّلُ الْأَجَلُ الْمَذْكُورُ وَبَيْنَ مَنْ فُقِدَ فِي غَيْرِ الْحَرْبِ فَلَا تُؤَجَّلُ بَلْ تَنْتَظِرُ مُضِيَّ الْعُمْرِ الَّذِي يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ لَا يَعِيْشُ أَكْثَرَ مِنْهُ وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ مَنْ غَابَ عَنْ أَهْلِهِ فَلَمْ يُعْلَمْ خَبَرُهُ لَا تَأْجِيْلَ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُؤَجَّلُ مَنْ فُقِدَ فِي الْحَرْبِ أَوْ فِي الْبَحْرِ أَوْ فِي نَحْوِ ذَلِكَ وَجَاءَ عَنْ عَلِيٍّ إِذَا فَقَدَتْ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا لَمْ تَزَوَّجْ حَتَّى يَقْدُمَ أَوْ يَمُوْتَ أَخْرَجَهُ أَبُو عُبَيْدٍ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بَلَغَنِي عَنِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَافَقَ عَلِيًّا فِي امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ أَنَّهَا تَنْتَظِرُهُ أَبَدًا وَأَخْرَجَ أَبُو عُبَيْدٍ أَيْضًا بِسَنَدٍ حَسَنٍ عَنْ عَلِيٍّ لَوْ تَزَوَّجَتْ فَهِيَ امْرَأَةُ الْأَوَّلِ دَخَلَ بِهَا الثَّانِيُّ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنِ الشَّعْبِيُّ إِذَا تَزَوَّجَتْ فَبَلَغَهَا أَنَّ الْأَوَّلَ حَيٌّ فُرِقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الثَّانِي وَاعْتَدَّتْ مِنْهُ فَإِنْ مَاتَ الْأَوَّلُ اعْتَدَّتْ مِنْهُ أَيْضًا وَوَرَثَتْهُ وَمِنْ طَرِيْقِ النَّخَعِي لَا تَزَوَّجُ حَتَّى يَسْتَبِينَ أَمْرُهُ وَهُوَ قَوْلُ فُقَهَاءِ الْكُوْفَةِ وَالشَّافِعِيِّ وَبَعْضُ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُنْذِرِ التَّأْجِيلَ لِاتِّفَاقِ خَمْسَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلَيْهِ

Ungkapan Imam al-Bukhari: “Al-Zuhri berkata tentang seorang muslim yang menjadi tawanan perang, yang masih diketahui tempatnya: “Istrinya tidak boleh menikah lagi dan hartanya tidak boleh dibagi. Bila sudah hilang beritanya, maka baginya diterapkan hukum mafqud.” Ibn Abi Syaibah meriwayatkan kisah tersebut secara muttasil (bersambung) dari Al-Auza’i, ia berkata: “Aku bertanya kepada Al-Zuhri tentang tawanan di daerah musuh, kapan istrinya boleh menikah lagi?” Ia menjawab: “Ia tidak boleh menikah lagi selama masih mengetahui suaminya masih hidup. Ada pula riwayat lain dari Al-Zuhri yang menyatakan: “Hartanya dibekukan (tidak diwariskan) dahulu, begitu pula istrinya (tidak boleh menikah dengan orang lain) sampai keduanya selamat (dari tawanan) atau mati. Adapun ungkapan Imam al-Bukhari: “Maka baginya diterapkan hukum mafqud.” sebab, pendapat Al-Zuhri tentang wanita yang kehilangan kabar suaminya adalah ia harus menunggu selama empat tahun (untuk boleh menikah lagi).” Pendapat Al-Zuhri tersebut diriwayatkan pula oleh Abd Al-Razzaq, Sa’id bin Manshur, dan Ibn Abi Syaibah dari Umar RA dengan sanad-sanad yang shahih. Salah satunya adalah riwayat Abd Al-Razaq, dari Al-Zuhri, dari Sa’id bin al-Musayyab, yang menyatakan Umar RA dan Utsman RA pernah memutuskan hukum demikian. Dengan sanad shahih, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar RA dan Ibn Abbas RA, keduanya berkata: “Istri mafqud harus menanti empat tahun.” Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman RA dan Ibn Masud RA, dan dari sekelompok tabi’in semisal Al-Nakha’i, Atha’, Al-Zuhri, Mahkul dan Al-Sya’bi. Mayoritas tabi’in sepakat, bahwa masa tangguh dihitung sejak si istri melaporkan kasusnya kepada hakim, dan sepakat ia menjalani ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, setelah lewatnya masa empat tahun tersebut. Mereka juga sepakat, bila wanita itu telah menikah (lagi), lalu suami pertama muncul, maka ia diberi pilihan antara istri atau menerima kompensasi maharnya. Mayoritas mereka berpendapat: “Bila ia memilih mahar, maka suami kedua yang menanggungnya.” Mayoritas mereka juga tidak membedakan berbagai kondisi mafqud, kecuali riwayat Said Al-Musayyab tadi. Namun Malik RA membedakan antara suami yang hilang dalam peperangan, maka masa tangguhnya adalah yang telah disebutkan (4 tahun, 4 bulan dan 10 hari). Sementara suami yang hilang di luar peperangan, maka tidak diberi masa tangguh. Namun si istri harus menunggu lewatnya umur yang di duga kuat suaminya tidak akan hidup melebihi umur itu. Ahmad dan Ishaq berkata; “Suami yang menghilang dari istri, lalu beritanya tidak diketahui, maka tidak ada masa tangguh bagi istrinya. Yang diberi penangguhan hanya suami yang hilang di peperangan, di lautan atau yang semisalnya.” Ada pula riwayat dari Ali RA: “Bila istri kehilangan suami, maka ia tidak boleh menikah sampai suaminya datang atau meninggal dunia.” Demikian yang diriwayatkan Abu Ubaid dalam bab nikah. Abd Al-Razzaq berkata: “Telah sampai kepadaku riwayat dari Ibn Mas’ud RA, ia sepakat dengan Ali RA mengenai wanita yang kehilangan suami, bahwa ia menunggu selamanya.” Abu Ubaid meriwayatkan juga dengan sanad hasan, dari Ali RA: “Bila si wanita menikah lagi, maka statusnya tetap sebagai istri suami pertama, baik suami kedua telah melakukan persetubuhan dengannya atau belum.” Said bin Manshur meriwayatkan, dari Al-Sya’bi: “Bila ia nikah, lalu sampai padanya berita suami pertama masih hidup, maka ia dipisahkan dari suami kedua, dan menjalani ‘iddahnya. Lalu bila suami pertama juga meninggal dunia, maka ia juga menjalani ‘iddah dari suami pertama dan berhak mewarisi hartanya.” Dalam riwayat Al-Nakha’i disebutkan: “Wanita tersebut tidak boleh menikah lagi sampai ada kejelasan berita suaminya.” Ini pendapat fuqaha Kufah, Al-Syafi’i dan sebagian ahli hadits. Namun Ibn Al-Mundzir memilih penangguhan, berdasarkan kesepakatan 5 orang sahabat atas hal itu". (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th.], Jilid IX, h. 538)

Imam Al-Mahalli dalam kitab Syarh al-Mahalli bi Hamisy Hasyiyyata al-Qulyubi wa ‘Umairah menjelaskan sebagai berikut:

(وَلَوْ نَكَحَتْ بَعْدَ التَّرَبُّصِ وَالْعِدَّةِ فَبَانَ)
الزَّوْجُ (مَيِّتًا) وَقْتَ الْحُكْمِ بِالْفُرْقَةِ (صَحَّ) النِّكَاحُ (عَلَى الْجَدِيْدِ) أَيْضًا (فِي الْأَصَحِّ) لِخُلُوِّهِ مِنَ الْمَانِعِ فِي الْوَاقِعِ وَالثَّانِي لَا يَصِحُّ لِانْتِفَاءِ الْجَزْمِ بِخُلُوِّهِ مِنَ الْمَانِعِ وَقْتَ عَقْدِهِ وَلَوْ بَانَ الزَّوْجُ حَيًّا بَعْدَ أَنْ نَكَحَتْ فَهُوَ عَلَى الْقَدِيمِ عَلَى زَوْجَتِهِ كَالْجَدِيْدِ لِتَبَيُّنِ الْخَطَأِ فِي الْحُكْمِ لَكِنْ لَا يَطَؤُهَا حَتَّى تَعْتَدَّ لِلثَّانِي وَقِيلَ هِيَ زَوْجُةُ الثَّانِي لِارْتِفَاعِ نِكَاحِ الْأَوَّلِ بِنَاءً عَلَى نُفُوْذِ الْحُكْمِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَقِيْلَ الْأَوَّلُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يَنْزِعَهَا مِنَ الثَّانِي وَبَيْنَ أَنْ يَتْرُكَهَا وَيَأْخُذَ مِنْهُ مَهْرَ مِثْلٍ لِقَضَاءِ عُمَرَ  بِذَلِكَ رَوَاهُ الْبَيِهَقِيُّ

"(Bila istri mafqud menikah setelah ia menunggu empat tahun dan menjalani ‘iddah, kemudian terbukti) kalau suaminya (mati) ketika diputuskan cerai, (maka sah) pernikahannya (berdasarkan qaul jadid) (dalam pendapat al-Ashah) karena secara nyata tidak ada hal yang mencegah keabsahannya. Sementara menurut pendapat kedua tidak sah, karena ketika akad berlangsung tidak terdapat kepastian terbebasnya akad tersebut dari hal yang mencegah keabsahannya. Bila terbukti suami pertama masih hidup setelah istrinya menikah lagi, maka berdasarkan qaul qadim ia masih tetap berstatus sebagai istri suami pertama, sebagaimana pendapat qaul jadid. Sebab jelas-jelas terjadi kesalahan hukum. Namun suami pertama belum boleh bersetubuh dengannya sampai ia menjalani ‘iddah dari suami kedua. Menurut versi lain, ia tetap menjadi istri suami kedua, karena status pernikahan suami pertama sudah terhapus. Hal ini berdasarkan hukum pernikahan istri dan suami kedua tersebut sah secara dzhahir dan batin. Sedangkan menurut versi lain, suami pertama diberi hak pilih antara mengambil istri dari suami kedua atau membiarkannya dengan suami kedua dan mengambil mahar mitsil darinya. Hal ini didasarkan pada keputusan hukum Umar r.a. dalam kasus tersebut yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi". (Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli bi Hamisy Hasyiyyata al-Qulyubi wa ‘Umairah, [Surabaya: Dar Nasyr al-Mishriyah, t. th.], Jilid IV, h. 51)

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 12 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


ReferensiKitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 442