Meneladani Jiwa Besar dan Keteguhan Prinsip Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim
Laduni.ID, Jakarta - Melihat perilaku politik Indonesia dewasa ini, banyak pengamat yang menyebutnya sebagai politik dinasti. Mulai dari kepala daerah yang meneruskan estafet kepemimpinan kepada anak-anaknya hingga para pemimpin partai yang “ujug-ujug” menjadikan putra atau putrinya sebagai pejabat teras di lingkup partai atau jabatan eksternal lainnya. Seolah anak-anaknya adalah putra mahkota yang telah dititahkan melanjutkan tampuk kekuasaan orang tuanya.
Fenomena "putra mahkota" mengingatkan pada sosok tokoh muda di masanya, KH. Wahid Hasyim. Ia adalah seorang pemikir, pejuang sekaligus seorang ulama yang memiliki kontribusi besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, di balik kegemilangan karir Menteri Agama pertama Indonesia itu, timbul pertanyaan: Apakah karena kapabilitasnya ia meraih capaian prestisius itu ataukah karena previllage-nya sebagai seorang putra mahkota?
Sosok Gus Wahid Hasyim yang bernama lengkap KH. Abdul Wahid Hasyim itu adalah putra pertama dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Sebagaimana jamak diketahui, beliau adalah pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Organisasi kemasyarakatan yang pengaruh dan kontribusinya sangat besar bagi republik ini, jauh sebelum merdeka. Bahkan, pengaruhnya terasa hingga saat ini. Mbah Hasyim merupakan maha guru dari para kyai di Nusantara. Jaringan santrinya tersebar di seantero negeri.
Jika menggunakan pola pikir dari tradisi putra mahkota sebagaimana zaman kerajaan dulu, Gus Wahid Hasyim tinggal duduk dan ongkang-ongkang kaki pun akan dihormati banyak orang. Sebagai "gus"–sapaan untuk anak seorang kyai–ia telah memiliki
Memuat Komentar ...