Anatomi Radikalisme di Indonesia : Jihad Pasca Afghanistan (Bag 5)

 
Anatomi Radikalisme di Indonesia : Jihad Pasca Afghanistan (Bag 5)

M Kholid Syairozi

Sekretaris Jenderal PP ISNU

Usai Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari Afghanistan pada Februari 1989, terjadi fitnah perpecahan di antara mujahidin baik yang berasal dari Afghanistan maupun asing. Di internal mujahidin Afghanistan perpecahan terjadi di antara Gulbudin Hikmatyar dari Hizb Islam dengan Syeikh Ahmad Masoud dari Jama’ati Islam. Perpecahan juga terjadi di antara mujahidin asing yaitu antara Syeikh Abdullah Azzam dan Dr. Ayman al-Zawahiri terkait pilihan jihad pasca Afghanistan. Syeikh Azzam berpendapat mujahidin harus meneruskan jihad di wilayah kaum Muslimin yang diduduki kâfir harbî (kâfir ajnabî) seperti Palestina. Sementara Al-Zawahiri berpendapat mujahidin harus kembali ke tempat asal masing-masing untuk memerangi para penguasa murtad (kâfir mahallî) yang menolak memberlakukan hukum Islam.

Pendapat Al-Zawahiri cocok dengan misi tadrîb askarî kader-kader DI/NII. Usamah Bin Laden juga cenderung kepada pendapat Al-Zawahiri dan mendirikan al-Qaeda pada awal 1988. Al-Qaeda bertujuan membentuk Khilâfah Islâmiyah dan memfasilitasi mujahidin di negeri Muslim memerangi penguasa murtad yang menolak mendirikan negara Islam. Menurut Usamah, jihad memerangi kâfir mahallî (near enemy) lebih utama daripada jihad memerangi kâfir ajnabî (far enemy). Pikiran ini berubah pada 23 Februari 1998 ketika Usamah mulai berpikir menyerang Amerika. Atas nama World Islamic Front, Usamah bersama Ayman al-Zawahiri , Rifa’i Ahmad Taha, Syeikh Mir Hamzah, dan Fazlurrahman mengeluarkan fatwa: “Membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya, baik sipil maupun militer, adalah kewajiban setiap muslim yang dapat dilakukan di negara mana pun bila memungkinkan.”

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN