Anatomi Radikalisme di Indonesia : Penutup (Bag 7)

 
Anatomi Radikalisme di Indonesia : Penutup (Bag 7)

M Kholid Syairozi

Sekretaris Jenderal PP ISNU

Senapan memang bisa membunuh teroris, tetapi tidak ideologinya. Radikalisme berakar dari ideologi salafi yang didirikan oleh Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan menjelma menjadi gerakan revolusioner di tangan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1701 - 1793 M). Ideologi salafi yang tidak toleran, absolutis, dan puritan membentuk cara berpikir radikal. Radikal adalah separo modal untuk menjadi teroris. Salafi dengan programnya yang keras menentang ‘syirik kubur’ dan amaliah bid’ah akan naik kelas menjadi jihadis begitu terpapar doktrin ‘syirik undang-undang’ yang merupakan materi tauhid hâkimiyah. Seorang jihadis akan menjadi teroris begitu siap melakukan ‘amaliah’ teror dengan iming-iming syahid, bidadari, dan surga.

Terorisme berakar dari doktrin-doktrin jihad qitâl yang dibangun Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan Sayyid Quthb (1906-1966 M), tauhid hâkimiyah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979 M), dan juknis jihad Abdus Salam Farag (1954-1982 M). Di tengah situasi perang, doktrin ini berkembang di tangan Abdullah Azzam (1941-1989 M), Abdurrab Rasul Sayyaf (lahir 1946 M), Usamah bin Ladin (1957-2011 M), Ayman al-Zawahiri (lahir 1951 M), dan Abu Bakar al-Baghdadi (1971-2017 M). Perang global melawan terorisme telah menewaskan banyak teroris, tetapi tidak ideologinya. Paham salafi dan salafi-jihadi masih punya banyak pengikut dan juru bicara. Dalam sistem demokrasi, mereka bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk mengadakan kajian. Secara garis besar, dua kelompok salafi bersaing di panggung dakwah Indonesia: Salafi-Hijazi dan Salafi-Ikhwani.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN