Benarkah Puasa Tarwiyah Tidak Disunnahtkan?
LADUNI. ID I IBADAH- Salah satu ibadah yang populer di bulan Zulhijjah adalah puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah). Merujuk dasar hukumnya mereka yang tidak melaksanakan haji dianjurkan untuk berpuasa Tarwiyah. Ini didasarkan pada hadits yang menjelaskan bahwa puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun.
Dalam kajian ilmu hadits, dianggap hadist mengenai puasa Tarwiyah yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Dailami dalam kitabnya Musnad Firdaus (2/248). Dikatagorikan derajat hadits ini mardud (tertolak), disebabkan ada periwayat hadits dianggap pendusta, yakni Muhammad bin Sa’aib Al-Kalbi. Bahkan ada juga periwayat dalam hadits tersebut yang dinilai majhul (tidak dikenal), yakni Ali bin Ali Al-Himyari.
Mengomentari problem ini, para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dha’if (lemah) sekalipun, sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadhail al-a’mal (demi memperoleh keutamaan), selama permasalahannya tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Penyokong kesunahan puasa Tarwiyah ini semakin diperkuat oleh satu riwayat yang menyatakan bahwa puasa sepuluh hari, kecuali hari Idul Adha, dari awal bulan Dzulhijjah, hukumnya sunnah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ummul Mu’minin Sayyidatina Hafshah RA, yang berkata, “Ada empat macam yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW: puasa Asyura, puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari pada setiap bulan dan melakukan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh,” (Riwayat Ahmad bin Nasa’i).
Memuat Komentar ...