Pengakuan Ekonom Penghancur #8: Melalui Wayang, Rakyat Indonesia Melek Politik Dunia

 
Pengakuan Ekonom Penghancur #8: Melalui Wayang, Rakyat Indonesia Melek Politik Dunia

“Aku akan membawamu kepada seorang dalang," Rasy berseri-seri. "Kau tahu, dalang wayang Indonesia yang terkenal." Ia sungguh-sungguh merasa senang mendapatkan aku kembali di Bandung. "Ada satu yang sangat ngetop di kota malam ini."

Ia membawa aku dengan skuternya melalui bagian-bagian kotanya yang aku tidak pernah ketahui keberadaannya, melalui daerah yang dipenuhi oleh rumah-rumah kampung Jawa tradisional, yang tampak seperti versi kecil kuil beratap genting orang miskin. Lenyaplah sudah rumah-rumah kolonial Belanda dan gedung-gedung perkantoran yang megah yang aku harapkan dapat melihatnya. Penduduknya nyata-nyata miskin, namun bermartabat. Mereka mengenakan sarung batik yang usang tetapi bersih, blus berwarna cerah, dan topi jerami bertepi Iebar. Ke mana pun kami pergi kami disambut dengan senyum dan tawa. Ketika kami berhenti, anak- anak bermunculan untuk menyentuhku dan merasakan kain jeans-ku. Seorang anak perempuan memasangkan bunga kemboja yang semerbak di rambutku.

Kami memarkir skuter di dekat sebuah teater kaki lima tempat beberapa ratus orang berkumpul, beberapa berdiri, yang lain duduk di kursi jinjing. Malam cerah dan indah. Walaupun kami berada di pusat kota lama Bandung, tidak ada lampu jalan di sana, hanya bintang-bintang berkelip-kelip di atas kepala kami. Udara beraroma api kayu, kacang tanah dan cengkeh.

Rasy menghilang ke dalam kerumunan orang dan segera kembali dengan orang-orang muda yang pemah aku temui di kedai kopi. Mereka menawari aku teh panas, kue kecil, dan sate, potongan kecil daging yang dimasak di dalam minyak kacang. Aku mesti telah bersikap ragu sebelum menerima sate, karena salah satu dari perempuan itu menunjuk pada api kecil. "Dagingnya sangat segar," ia tertawa. "Baru saja dimasak."

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN