Kisah Perjuangan Pesantren Suryalaya Pertahankan NKRI dari Gerakan Radikal Kelompok Darul Islam

 
Kisah Perjuangan Pesantren Suryalaya Pertahankan NKRI dari Gerakan Radikal Kelompok Darul Islam

Saat pergolakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, kelahiran Cepu, yang bermukim dan memimpin awal gerakan di Malangbong, kaum Muslimin dan Ajengan pimpinan pondok pesantren seakan terbagi ke dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah pendukung DI, kedua, kelompok penentang DI, sementara kelompok ketiga adalah mereka yang bingung antara mengikuti atau menentang.

Pondok Pesantren Suryalaya saat itu memiliki sikap yang menentang gerakan DI, dan tetap mendukung keutuhan NKRI. Berulang kali Pondok Pesantren Suryalaya digempur oleh DI, baik saat siang hari dan yang paling sering malam hari. Meski sekeliling pesantren sudah dibuatkan pagar tinggi dari bambu melampaui 3 meter dan dijaga oleh para pemuda, namun serangan demi serangan DI semakin gencar saja. Ibu Hj. Siti Ru’yanah, istri Abah Anom pun hingga terkena peluru nyasar saat itu. Sejumlah pemuda yang berjaga pun meninggal dunia terkena rentetan tembakan. Hal ini ditandai dengan sebuah prasasti di Gapura Pontren Suryalaya.

Abah sepuh yang kala itu sudah berusia lebih dari 100 tahun, demi keamanan, beliau diungsikan di Ciawi, sebuah daerah yang relatif aman dan ada penjagaan dari TNI. Kepemimpinan Pondok Pesantren Suryalaya dipegang oleh Abah Anom, yang saat itu usianya sekitar 30-an. Dalam keadaan genting dan “riweuh” pun, ada saja murid Abah sepuh yang menyengajakan diri datang ke Madrasah hendak menemui Abah Sepuh. Para murid Abah Sepuh itu sering membawa buah tangan entah berupa pakaian atau makanan yang disukai Abah Sepuh.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN