Pantangan Menikah di Bulan Suro, Bukan Syariat tapi Adab Orang Jawa

 
Pantangan Menikah di Bulan Suro, Bukan Syariat tapi Adab Orang Jawa
Sumber Gambar: istockphoto, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Bagi masyarakat Jawa, Bulan Muharram atau Bulan Suro adalah salah satu bulan sakral setelah bulan puasa, Ramadhan. Bedanya, kalau bulan puasa penuh dengan ritual ibadah, baik pribadi maupun yang bersifat syiar agama, sedangkan Bulan Suro lebih banyak tidak menggelar acara kegembiraan. Terutama acara pernikahan dan khitan.

Sikap ini bukan tanpa sebab. Bagi penduduk Jawa, Suro merupakan bulan dukacita mendalam. Yakni terjadinya pembantaian keturunan Kanjeng Nabi SAW secara brutal. Hanya menyisakan balita bernama Sayyid Ali Zainal Abidin.

Karena itulah, dianggap sangat tidak etis menggelar acara yang intinya merayakan kebahagiaan di saat momen Bulan Suro. Sebagai tanda penghormatan kepada Kanjeng Nabi dan seluruh keturunannya, sebagian masyarakat Jawa sangat menjaga tradisi ini.

Mayoritas masyarakat Islam di Nusantara adalah penganut setia faham Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan berpijak pada guru tasawuf seperti Imam Hasan Al-Bashri, Imam Al-Ghozali dan Imam Al-Junaid. Sehingga dirasa cukup memperingati Bulan Suro dengan cara demikian. Tidak ada yang perlu dianggap janggal.

Tentu berbeda dengan penduduk Persia. Mereka memiliki kedekatan psikologis yang luar biasa dari sisi historis. Bermula dari penaklukan Kemaharajaan Persia oleh Kholifah Amirul Mukminin Sayyidina Umar r.a. Konon, pasca penaklukan, Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah menuju ke Persia.

Raja Persia jatuh hati dengan kealiman dan kelembutan Sayyidina Ali. Akhirnya secara sukarela masuk Islam. Dan ternyata diikuti oleh seluruh penduduk negeri tersebut.

Untuk memperkuat silaturrahim, maka putra Sayyidina Ali yakni Sayyidina Husein dinikahkan dengan putri Sang Raja. Dari pernikahan ini lahir beberapa keturunan. Karena itu, sangat dipahami kedekatan psikologis antara penduduk Persia (Iran dan sebagian Irak) terhadap Sayyidina Husein.

Itulah mengapa mereka ketika memperingati peristiwa Karbala menjadi lebih semarak dan menyayat daripada kita orang Islam di Nusantara. Namun demikian, tidak bijaksana jika kita menghakimi. Karena urusan mahabbah terkadang tidak bisa dijabarkan dengan syariat bloko. Cukup bagi kita tidak meniru cara yang mereka lakukan.

Kembali ke tradisi larangan menikah di Bulan Suro. Sekali lagi ini urusannya adalah adab dan mahabbah. Jadi tidak bisa dicari dalilnya secara syar'I, jelas tidak bisa ditemukan. Meski demikian, ternyata ketika dalam kondisi darurat harus ada pernikahan di bulan ini, maka tradisi ini pun tetap memberi solusi.

Salah satunya yang dilakukan adalah bahwa pengantin putri harus menerobos tembok yang dijebol. Ini adalah sebuah perumpamaan saja. Larangan menikah di bulan Suro diibaratkan tembok. Jadi siapa saja yang menikah di bulan ini berarti nabrak tembok. Karena itu secara sengaja dibuat ritual tambahan, yaitu temboknya dijebolkan, dibuatkan jalan. Sebagai simbol permintaan maaf dan mohon izin kepada Sayyidina Husein, Sayyidina Ali dan Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Dari sini bisa dipahami secara adil. Bahwa tradisi ini secara positif adalah bentuk penghormatan dan sekaligus sebagai sikap berhusnudzon kepada Kanjeng Nabi dengan cara kulo nuwun atau izin untuk melaksanakan hajat kebahagiaan di ‘bulan dukacita’, karena peristiwa sejarah yang tak pernah terhapuskan itu. Dan tentunya ini dilakukan dengan mengharap ridho Kanjeng Nabi yang menjadi salah satu faktor diturunkannya rahmat dari Allah SWT.

Dengan demikian, Islam yang beriringan dengan budaya dalam satu masyarakat akan menjadi lebih fleksibel dan bisa dijalankan secara nyaman oleh semua penganutnya. Begitulah kira-kira. Sangat Indah, bukan? []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Shuniyya Ruhama

Editor: Hakim