Tahun 1891-1906 M: Dinamika Masyarakat Islam di Aceh Setelah Kedatangan Snouck Hurgronje
Laduni. ID, Jakarta – Bagi masyarakat Aceh, mengenang perang selama beberapa puluh tahun dengan Belanda, selalu diiringi dengan kisah “Snouck”. Demikian orang Aceh memanggil, penasehat politik Hindia Belanda tersebut. Bahkan karena begitu membenci Snouck, orang tua sering menasihati anak-anak mereka, supaya tidak seperti si Snouck. Rasa perlawanan orang Aceh terhadap Belanda memang bukan hanya karena persoalan membenci penjajah, tetapi juga orang Belanda dianggap sebagai kafir, yang darahnya dihalalkan.
Menurut Azumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara pada 1871 perjanjian Belanda dan Inggris direvisi. Hasilnya tersebut membebaskan Belanda dari janji mereka untuk tidak memperluas kekuasaan terhadap Aceh. Namun pada saat itu Aceh sedang dipimpin oleh Tuanku Ibrahim (1838-1870) yang bergelar Sultan ‘Ali’ Ala Al-Din Manshur Syah. Di tangan Sultan Ibrahim, Kesultanan Aceh kembali menjadi kekuatan nyata yang berupaya menegakan otoritasnnya atas seluruh kawasan utara Sumatra. Perang Aceh merupakan perang Kolonial yang paling lama yaitu berlangsung dari tahun 1873-1917. Semangat juang dan kegagah keberanian rakyat Aceh yang demikian hebat merupakan tantangan berat bagi Belanda. Sehingga mereka mengutus Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje untuk meneliti rakyat Aceh.
Setelah kedatangannya di Aceh, Snouck Hurgronje mulai meneliti dan memahami Aceh. Di dalam bukunya De Atcjehers, dia mengupas secara komprehensif “connection between different social institution in real life” sebagai sebuah upaya untuk memahami gagasan dan nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan rakyat Aceh. Dengan demikian, salah satu dampak dari penelitian Snouck adalah untuk menegaskan kajian Orientalis sebagai pihak kolonialis yang ingin melanjutkan teori-teori yang ada di Eropa.
Memuat Komentar ...