Tarekat Naqsyabandiah #8: Syekh Muhammad Amin Kurdi Mengupas Tarekat Naqsyabandiah
LADUNI.ID, TASAWUF- Bermula di Bukhara pada akhirabad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi.
Pada akhirabad ke-18 nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Syekh Ahmad Sirhindi dikenal juga dengan Mujaddid Alf al-Tsani atau Pembaru Islam awal milenium ke-2 zaman Islam. Di belakang namanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat Mujaddidiyah Naqsyabandiyah sebagaimana dikatakan Syah Waliyullah mengenai beliau, “Dia adalah Perintis dalam melenium kedua zaman Islam, dan ia menyebabkan kaum muslim berutang budi yang tidak mungkin bisa dilunasi. Barang siapa yang mengingkari kewaliannya, maka ia sesungguhnya adalah seorang durjana.” (Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
Dalam kitab Tanwirul Qulub, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, pengarangnya, memberikan sejumlah petunjuk tentang cara melakukan dzikr qalbi. Perkembangan tasawuf meng-alami pasang surut hing-ga sekarang. Pada akhir abad ke-19, ketika tasawuf mengalami masa surut, di dunia sufi masih muncul seorang tokoh sufi yang cemerlang. Yaitu Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi An-Naqsyabandi dari Irbil, Irak. Pencantuman Al-Naqsyabandi pada namanya merupakan pertanda bahwa ia pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, sekaligus keturunan pendiri langsung terekat Syalh An-Naqsyabandi Baha'uddin Muhammad bin Muhammad Al- Uwaisy Al-Bukhari.
Memuat Komentar ...