Tahun 1873–1904 M: Konflik Ulee Balang dengan Ulama di Aceh pada Masa Kolonial Belanda

 
Tahun 1873–1904 M: Konflik Ulee Balang dengan Ulama di Aceh pada Masa Kolonial Belanda
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sejak era kesultanan Aceh, Ulee Balang dan ulama sebenarnya telah memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi. Ulee Balang bertugas sebagai pemimpin wilayah dan pelindung adat yang perannya lebih kepada bidang politik dan administrasi pemerintahan. Sementara Ulama bertindak sebagai pemimpin spiritual, yang mendidik dan membimbing masyarakat dalam ajaran Islam.

Namun, perbedaan yang lebih keras terjadi ketika masa kolonial Belanda di akhir abad ke-19. Belanda berupaya mematahkan perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin oleh banyak ulama dengan cara mendekati dan mengajak kerja sama sebagian Ulee Balang.

Rencana politik divide et impera busuk yang dijalankan pemerintahan kolonial ini menciptakan perpecahan dalam masyarakat Aceh, karena Ulee Balang yang bekerja sama dengan Belanda sudah pasti dicap sebagai pengkhianat oleh sebagian rakyat Aceh, terutama oleh para ulama yang sangat membenci perlakuan kolonialisme.

Ulee Balang merupakan istilah yang digunakan kepada pemimpin adat atau bangsawan lokal di masyarakat Aceh, khususnya di masa Kesultanan Aceh. Ulee Balang mengemban peran penting sebagai penguasa daerah, baik dalam segi aspek pemerintahan, ekonomi, sosial, maupun hukum. Secara hierarki, Ulee Balang berada di bawah sultan atau raja, namun mereka memiliki otonomi yang cukup besar dalam mengatur wilayahnya sendiri.

Belanda membagi wilayah Aceh menjadi dua jenis administrasi: Wilayah di sekitar ibunkota Kutta Raja, yang terdiri dari sekitar 50 Ulee Balang dan dipimpin langsung oleh Belanda, serta daerah-daerah lainnya yang dikelola oleh sekitar 100 Ulee Balang di bawah sistem otonomi terbatas (

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN