Kolom Gus Nadir: Berpaling dari Dalil, Mungkinkah?

 
Kolom Gus Nadir: Berpaling dari Dalil,  Mungkinkah?

LADUNI.ID - Lelaki tua itu sudah sakit-sakitan, dan calon pembeli tanah didampingi pengacara terus memaksa agar lelaki itu menandatangani kontrak jual beli. Maka ditandatanganilah kontrak itu. Dua hari kemudian lelaki itu meninggal, dan keluarganya baru tahu bahwa telah terjadi jual beli. Pembeli tanah memiliki kontrak yang sudah sah di mata hukum dengan harga yang sangat murah. Semuanya sah, dan tandatangan pun asli.

Keluarga menggugat ke Pengadilan. Alasannya ada ketidakdilan dalam proses jual beli itu. Lelaki tua dan sekarat itu tidak didampingi keluarga dan pengacara saat melakukan transaksi. Pengadilan Inggris kebingungan menghadapi kasus yang terjadi tahun 1859 ini (Clark v Malpas). Kalau berpegang pada aturan formal, transaksi dinyatakan sah, tapi karena prosedurnya cacat dimana satu pihak mengambil keuntungan dari kelemahan posisi pihak lain, maka transaksi dinyatakan tidak sah. Pengadilan memilih opsi kedua berdasarkan konsep Equity. Transaksi dinyatakan batal.

Ribuan tahun sebelumnya, Imam Abu Hanifah sudah menerapkan prinsip Equity ini dalam berijtihad. Qiyas (analogy) kadangkala melahirkan hukum yang tidak adil atau kurang proporsional. Maka Imam Abu Hanifah berpaling dari hukum qiyas yang lebih kuat (jali) menuju hukum berdasarkan qyas yang lebih lemah (khafi). Dengan kata lain, dalil yang lebih kuat dikecualikan atau dikhususkan karena hasilnya lebih mencerminkan ruh al-tasyri’. Pengecualian dan pengkhususan ini dinamakan istihsan.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN