Mengemas Substansi tanpa Harus Menimbulkan Gejolak dan Perdebatan Publik
LADUNI.ID, Jakarta - Berbagai kebijakan Bu Risma itu selaras dengan syariat Islam. Tapi perempuan ini tidak pernah mengemasnya dengan merk syar'i. Dia lebih memilih mempopuliskan kebijakannya tanpa ada embel-embel "agama". Soal penutupan Dolly, penguatan peranan Liponsos untuk penanganan masalah sosial, keperdulian terhadap lansia, kebersihan kota yang terjaga, tata kota yang teratur, penyediaan ruang terbuka hijau dan sebagainya. Dia menempatkan ajaran Islam sebagai landasan etik, sandaran moral, bukan sebagai gimmick politik.
Lagipula Bu Risma bukan tipikal politisi bergincu yang memoles kata-kata indah. Dia pekerja. Otak dipandu otot, bukan otak dipandu lidah. Orang lebih suka melihat hasil kerjanya dibandingkan dengan, misalnya, kehidupan pribadinya. Tahu nggak, siapa nama suami dan anak Bu Risma? Saya juga nggak tahu. Hahaha. Ini keren. Pejabat publik yang sengaja menghindarkan keluarganya dari ekspos media.
Oke, kalau masih sulit memahami tipikal pemimpin ini, lebih mudahnya begini. Bu Risma menutup Dolly, tapi sebelumnya dia memberikan pelatihan keterampilan bagi penghuninya. Mereka diajari mandiri agar tidak jualan "daging" lagi. Pemilik wisma juga sama. Diajari berbagai keterampilan ini-itu agar tidak menjadi germo lagi. Ini sulit, butuh penyesuaian mentalitas karena mereka selama ini sudah nyaman dalam zona (ny)aman.
Setahu saya, dalam proses penutupan lokalisasi ini, Bu Risma menghindari penggunaan isu-isu agama. Dia memang menempatkan para ulama, seperti KH. Khoiron Syu'aib, misalnya, sebagai semacam konsultan ahli, sama halnya dengan para sosiolog, psikiater, serta para aktivis sosial. Keterlibatan banyak unsur ini yang membuat Bu Risma tahan mental dan berani berhadapan dengan beking kawasan lokalisasi. Jadi, pelaksanaan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan dijalankan secara substantif berdasarkan keputusan politik. Ini cerdiknya.
Memuat Komentar ...