Alissa Wahid: Indonesia Darurat Tertawa
LADUNI.ID, Jakarta - Beberapa hari menginap di hotel, setiap malam saya menonton Stand-Up Comedy Amerika Serikat di salah satu saluran televisi. Saya mendapati bahwa para komika ”Negeri Paman Sam” sangat lugas dan tanpa batas dalam pilihan tema ataupun cara penyampaiannya.
Menonton aktris dan komedian Natasha Leggero yang tak segan memilih kata dan aksi panggung yang bagi saya terasa kasar tak urung saya berpikir, apakah ia berani pulang kampung setelah ”menghina” warga kotanya kampungan. Dan tentu saja Natasha tidak sendiri. Dunia stand-up comedy di AS memberikan apresiasi dan ruang yang cukup besar bagi para komika dengan berbagai tingkah panggungnya.
Demikian pun di Indonesia. Stand-up comedy menjadi salah satu dunia ”asyik” yang cukup berkembang dalam satu dekade terakhir seiring dengan menguatnya kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik selepas reformasi. Acara televisi dan panggung off-air diminati penonton. Bahkan, kita boleh berbangga, komika perempuan Sakdiyah Makruf telah menyabet penghargaan internasional atas kiprahnya menggunakan panggung humor untuk memperjuangkan isu keadilan sosial, juga masuk sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh versi BBC tahun 2018 ini.
Sayangnya, kenyataan setahun terakhir memberikan _plot twist_ yang kurang memberdayakan di negeri kita. Beberapa orang komika dianggap terpeleset dengan humor yang membawa agama sehingga membuat sebagian khalayak menjadi gerah dan merasa itu tak pantas. Akibatnya, sekian komika tersebut menerima konsekuensi sosial berupa rundungan dunia maya dan konsekuensi profesional, seperti mengundurkan diri dari dunia komika atau kontrak kerja yang tak berlanjut. Akhirnya, banyak komika sekarang memilih membatasi dirinya dengan tegas dan kaku.
Memuat Komentar ...