Mozaik NU yang Terus Bergerak Maju
Laduni.ID, Jakarta - Sejak dulu tradisi kaum Nahdliyin di lingkunganku sangat kental. Aku terlahir dengan tradisi kaum NU. Dalam dekapan cinta Ibu dan Ayahku, mantra-mantra do’a yang selalu diucapkan selalu mengikuti panduan para Kiyai yang secara kultural adalah kaum Nahdliyin, meskipun mungkin tidak masuk dalam jajaran struktural kepengurusan NU.
Di desaku, setiap hari sakral menurut penanggalan Hijriyah, selalu dimeriahkan dengan acara yang mengandung unsur silaturrahim dan saling berbagi. Misalnya dalam bulan Rabiul Awal, acara pembacaan Maulid Nabi selalu meriah. Setelah pembacaan selesai, jamuan yang dibawa oleh para jamaah dibagi dan saling ditukarkan. Tampak keceriaan berbagi dan cinta yang mekar di wajah mereka. Mencintai Nabi berarti juga meneladani perangainya. Murah senyum, berbagi, dan saling menghormati.
Acara maulid ini tidak hanya dilakukan pada bulan Rabiul Awal saja. Bahkan menjelang dan setelahnya, selalu saja ada yang merayakannya. Lebih dari itu, hampir di setiap musholla acara “maulidan” menjadi rutinitas saban malam jumat. Puji-pujian bagi sang Nabi senantiasa bergema. Menegaskan cinta alami, tanpa dibungkus embel-embel mengharap balasan. Meskipun memang secara tidak langsung berharap mendapat syafaat Nabi.
Selain pembacaan Maulid Nabi, tradisi yang menjadi ciri khas kaum Nahdliyin yang sejak lama akrab dalam kehidupanku adalah tahlilan. Di desaku, tahlilan juga menjadi rutinitas yang secara tidak langsung menjadi media mempererat hubungan baik dengan saudara dan tetangga. Bahkan dalam suatu kesempatan, keluargaku pernah mengadakan acara tahlilan dengan mengundang tetangga sebelah yang notabene beragama nonmuslim. Tetangga saya yang nomuslim itu tetap datang dan terlihat khusyuk mengikuti atau setidaknya mendengarkan doa-doa yang dibacakan dalam acara tersebut.
Memuat Komentar ...