Keteladanan Kyai Chudlori dalam Menuntun Masyarakat Mengenal Islam dengan Pendekatan Budaya

 
Keteladanan Kyai Chudlori dalam Menuntun Masyarakat Mengenal Islam dengan Pendekatan Budaya
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sejak dulu Pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo terkenal dengan pesantren tirakat atau pesantren tasawuf. Begitu banyak orang mengatakannya. Pesantren tersebut dikenal demikian, sebab dulu pendirinya, KH. Chudlori terkenal dengan laku mujahadah atau tirakatnya. Sebagaimana pengakuan dari putra beliau, Gus Yusuf Chudlori, bahwa ayahnya itu dulu memang ahli tirakat dan tetap bersungguh-sungguh dalam belajar menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya.

KH. Chudlori memang bukanlah putra dari seorang kyai, melainkan putra dari seorang penghulu. Tetapi beliau mempunyai semangat yang sangat tinggi dalam belajar, dan banyak berguru kepada beberapa kyai besar, di antaranya pernah mengaji kepada KH. Ma’sum Lasem, KH. Dalhar Watucongol, KH. Hasyim Asy’ari, dan beberapa kyai lainnya. Sejak dulu beliau terkenal dengan komitmen dan konsistensinya dalam mujahadah, tirakat dan belajar. Bahkan kisah yang sangat masyhur tentang mujahadahnya adalah dulu ketika beliau sedang belajar di malam hari, maka beliau duduk di atas papan kecil yang jika mengantuk maka akan terjatuh, maka agar tidak terjatuh harus berkonsentrasi penuh dalam belajar. Hal ini dilakukan berulang kali oleh beliau sampai terbiasa dan dapat mempelajari dan menghafal banyak ilmu.

KH. Chudlori menjadi menantu dari KH. Dalhar Watucongol, seorang kyai yang juga terkenal keramat dan pengamal tasawuf. Maka tak ayal jika laku KH. Chudlori meneladani kebiasaan guru sekaligus mertuanya tersebut. Selain itu, beliau adalah murid KH. Hasyim Asy’ari yang terkenal sangat alim. Beliau menimba ilmu di Tebuireng dan merasakan keberkahan yang terus mengalir, bahkan sampai beliau mendirikan pesantren API di Tegalrejo, beliau pun mengatakan bahwa pesantren tersebut tidak lain adalah pesantrennya KH. Hasyim Asy’ari sebagai bentuk rasa ta’dhim kepada gurunya itu. Selain itu, beliau juga sering mengatakan bahwa pesantrennya tersebut tidak lain juga merupakan pesantrennya KH. Ma’shum Lasem. Rasa ta’dhim itu tetap melekat kepada beliau sampai akhir hayatnya. Demikian penuturan yang pernah disampaikan oleh Gus Yusuf dalam sebuah kesempatan berceramah.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN