Bancakan Sebagai Tradisi Nusantara yang Perlu Dilestarikan

 
Bancakan Sebagai Tradisi Nusantara yang Perlu Dilestarikan

Sejalan dengan terus bergeraknya peradaban menuju arah modernisasi dan globalisasi, masih ada sisa-sisa tradisi budaya di Nusantara yang masih diuriuri oleh sebagian masyarakat kita. Salah satu tradisi budaya yang menarik perhatian adalah tradisi budaya lokal Jawa yang berhubungan dengan ‘keselamatan’ dalam konsep hidup manusia Jawa. Adapun produk budaya yang dimaksud adalah upacara tradisi Bancakan. Hampir setiap peristiwa dalam masyarakat Jawa selalu dipenuhi dengan ritual bancakan ini. Mulai dari kehamilan, kelahiran, kematian atau bahkan hal-hal lain. Secara esensi, di luar yang bersifat spiritual (batiniah), bancakan sendiri mengemban pesan penting dalam hubungan kemasyarakatan. Keselarasan dan harmoni menjadi dasar utama setiap laku yang diwujudkan itu. Bancakan memang satu fungsi utamanya adalah untuk menunjukkan rasa syukur (doa) kepada Yang Maha Kuasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi empat menjelaskan, bahwa kata bancakan berasal dari kata dasar bancak yang memperoleh akhiran –an. Dapat diartikan ban-cak, ban-cak-an (n) (1) slametan; kenduri; (2) hidangan yang disediakan dalam slametan; (3) slametan bagi anak-anak dalam merayakan ulang tahun atau memperingati hari kelahiran disertai pembagian makanan atau kuekue. Kata bancakan juga berasal dari tempat tumpeng pungkur yang dibuat dari anyaman bambu secara renggang. Anyaman semacam ini disebut ancak. Perkembangan selanjutnya berubah menjadi kata bancak (Suwardi, 1998: 169). Dalam tradisi Jawa, bancakan dikenal sebagai simbol rasa syukur kepada nenek moyang dan Tuhan sebagai pencipta dengan cara-cara membagi-bagikan makanan kepada relasi.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN