Menjaga Tanda Cinta dan Penghormatan dengan Berprasangka Baik kepada Orang Tua Nabi Muhammad SAW
Laduni.ID, Jakarta - Nabi Muhammad SAW, utusan terakhir yang membawa cahaya Islam kepada umat manusia, dilahirkan di Makkah pada 12 Rabiul Awal di Tahun Gajah. Kehidupan beliau yang penuh berkah dan rahmat telah digariskan oleh Allah SWT sejak awal, termasuk kenyataan bahwa Nabi lahir dalam keadaan yatim.
Kehilangan ayahnya sebelum ia dilahirkan adalah salah satu dari banyak ketentuan Allah yang menandai perjalanan hidupnya sebagai sosok pilihan. Meski tanpa ayah, Nabi Muhammad SAW tidak pernah merasakan kesepian dan kekurangan kasih sayang, karena Allah SWT langsung mendidik dan membimbingnya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (QS. At-Thur: 48)
Pendidikan yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah pendidikan Ilahi. Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW sendiri mengakui keistimewaan ini dengan sabdanya yang terkenal:
أَدَّبَنِى رَبِّى فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِى
“Allah telah mendidikku, dan Ia menyempurnakan pendidikanku.” (HR. Al-Askary dalam kitab Al-Amsal, As-Suyuthi dalam kitab Al-Jami’ As-Shaghir)
Sebagaimana diketahui, Ayahanda Nabi, Sayyid Abdullah bin Abdul Muthallib, wafat ketika Nabi Muhammad SAW masih berada dalam kandungan ibunya, Sayyidah Aminah. Sayyid Abdullah saat itu sedang melakukan perjalanan ke negeri Syam dan singgah di Yatsrib (Madinah), mengikuti instruksi dari ayahnya, Abdul Muthallib. Namun, di Yatsrib, Sayyid Abdullah jatuh sakit hingga wafat dan dimakamkan di kota tersebut. Hal ini menjadi salah satu takdir Allah bagi Nabi Muhammad SAW, yang harus terlahir dalam keadaan yatim. Meski demikian, Allah SWT mengemas kesedihan sebagai anak yatim ini dengan kasih sayang yang luar biasa. Nabi tidak pernah merasakan getirnya hidup tanpa ayah, karena selalu ada orang-orang di sekitarnya yang penuh cinta dan perhatian.
Memuat Komentar ...