Sebuah Catatan Kritis: Antara Gus Dur, Islam, dan Humanisme Eropa
Laduni.ID, Jakarta - Suatu sore di musim panas (Juli 2018), dalam sebuah percakapan ringan di Bonn, seorang teman jurnalis DW (Deutsche-Welle, Suara Jerman) mengungkapkan keheranannya tentang Gus Dur sebagai pejuang kebebasan dan martabat manusia yang menjadi ciri khas peradaban Eropa. “Padahal dulu di masa mudanya ia hanya tinggal setahun di Eropa. Selebihnya, ia adalah orang pesantren. Hidup dan mati di pesantren”, begitu ungkap teman yang sudah lama tinggal di Jerman itu. Kami mengenang Gus Dur, dan sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di Eropa menghormati mendiang Gus Dur dan menganggapnya sebagai orang pesantren yang berhasil—tidak saja mengidealisir nilai-nilai kebebasan Eropa—tetapi juga mengimplementasikannya dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Setiap tahun, bangsa ini pantas mengenang kembali sosoknya sebagai “rumah yang teduh” bagi kaum minoritas dan mereka yang tertindas. Andai kini Gus Dur masih hidup, tentu ia sedih melihat intoleransi dan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas masih terjadi di banyak tempat. Dan seperti biasa, ia akan berteriak bahwa ia berdiri di depan memasang badannya untuk membela mereka yang pantas dibelanya.
Menurut putri bungsunya, Inayah Wulandari, ketika Gus Dur membela kelompok minoritas, yang ia bela bukan Cina, Ahmadiyah atau Nasrani-nya, melainkan manusianya. Gus Dur yang mencintai manusia, lanjut Inayah, lebih senang dipanggil sebagai seorang humanis. Karena itulah, ia pernah berpesan jika kelak meninggal di pusaranya ingin dituliskan; “Di Sini Dimakamkan Seorang Humanis”.
Memuat Komentar ...