Kisah Jalur Rempah (4): Nusantara dalam Lanskap Rempah dan Imperialisme Eropa
Laduni.ID, Jakarta - Sejak awal abad ke-16, Nusantara menjadi panggung bagi pergolakan besar yang didorong oleh satu alasan utama: rempah-rempah. Cengkih, pala, lada, dan berbagai komoditas berharga lainnya menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa yang mulai menempuh perjalanan jauh melintasi samudra demi menguasai perdagangan ini. Perjalanan panjang itu tak hanya memengaruhi dinamika lokal, tetapi juga mengubah arah sejarah global.
Pada 1512, Portugis di bawah pimpinan Francisco Serrão menjadi bangsa Eropa pertama yang tiba di Maluku, wilayah utama penghasil rempah-rempah. Mereka mendirikan pos di Ternate, bersekutu dengan Kesultanan Ternate untuk melawan Tidore. Hubungan antara kerajaan-kerajaan lokal dan pendatang Eropa ini sering kali diwarnai oleh intrik politik, perdagangan, dan peperangan. Kerajaan-kerajaan seperti Ternate, Tidore, dan Demak mulai memanfaatkan kedatangan Eropa, namun tak jarang mereka menjadi korban eksploitasi.
Di sisi lain, Kesultanan Demak, di bawah Pati Unus, mencoba mempertahankan kedaulatannya dengan menyerang Malaka pada 1512-1513. Sayangnya, usaha ini gagal, dan kekuatan laut Demak hancur. Namun, kejadian ini mencerminkan perjuangan lokal dalam menghadapi hegemoni bangsa asing yang mulai menancapkan kukunya di Asia Tenggara.
Tidak lama setelah Portugis, bangsa Spanyol juga mengarahkan pandangannya ke Maluku. Pada 1521, pelaut Spanyol di bawah pimpinan Sebastian del Cano berlabuh di Tidore. Perjanjian Tordesillas dan kemudian Perjanjian Saragosa pada 1529 menjadi bukti bagaimana dua kekuatan besar Eropa mencoba membagi dunia untuk kepentingan perdagangan mereka. Spanyol diberi hak atas Filipina, sedangkan Portugis menguasai Maluku. Ketegangan ini menunjukkan bahwa Nusantara bukan hanya menjadi medan pertempuran antara bangsa lokal dan Eropa, tetapi juga di antara kekuatan Eropa itu sendiri.
Memuat Komentar ...