Catatan Reflektif tentang Haul Gus Dur dan Kisah Riyanto Banser
Laduni.ID, Jakarta - Bulan Desember selalu menjadi momen penuh makna, khususnya bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan masyarakat Indonesia. Di penghujung tahun, kita memperingati Haul KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, seorang tokoh yang tidak hanya dikenal sebagai Presiden RI ke-4 tetapi juga sebagai guru bangsa, budayawan, ulama, dan penjaga pluralisme. Pada saat yang sama, kita mengenang kisah heroik Riyanto, anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang pada malam Natal 2000 mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jemaat gereja di Mojokerto dari ancaman bom.
Haul Gus Dur bukan sekadar ritual tahunan untuk mengenang sosoknya, tetapi sebuah momentum untuk merenungi jejak pemikirannya yang melintasi batas-batas agama, suku, dan budaya. Gus Dur selalu menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan keberagaman. Beliau pernah menyatakan bahwa “agama itu untuk memuliakan manusia, bukan untuk menghancurkan.” Dalam konteks Banser dan Nahdlatul Ulama, pernyataan ini menjadi spirit menjaga kebinekaan dan kedamaian.
Gus Dur juga dikenal lantang dalam membela kelompok minoritas dan terpinggirkan. Baginya, membela hak-hak kelompok lain bukan hanya soal toleransi, tetapi juga bentuk nyata dari praktik iman yang sejati. Pada acara haul, semangat ini sering digaungkan melalui tausiyah dan doa bersama lintas agama, seolah menegaskan bahwa warisan Gus Dur adalah warisan kita bersama; sebuah komitmen untuk menjadikan Indonesia rumah bagi semua.
Memuat Komentar ...