Pengakuan “Tidak Tahu” Bukanlah Aib bagi Pemuka Agama

 
Pengakuan “Tidak Tahu” Bukanlah Aib bagi Pemuka Agama
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Di dunia yang terus berkembang dan penuh dengan informasi, seseorang yang dianggap ahli sering kali merasa harus mengetahui jawaban untuk setiap pertanyaan. Namun, kisah-kisah dari tokoh ulama besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik memberikan pelajaran penting, bahwa pengakuan akan ketidaktahuan bukanlah kelemahan, melainkan tanda kebijaksanaan dan kehati-hatian.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, diceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah menerima pertanyaan terkait hukum buruan yang jatuh di tanah milik orang lain. Penanya ingin mengetahui apakah buruan itu menjadi milik si pemburu atau pemilik tanah. Imam Ahmad dengan jujur menjawab, “Aku tidak tahu.” Jawaban sederhana ini mengandung pelajaran mendalam tentang kejujuran intelektual.

Kisah serupa juga terjadi pada Imam Malik. Ketika diajukan 48 pertanyaan, beliau hanya menjawab 16 di antaranya. Selebihnya, Imam Malik berkata, “Saya tidak tahu.” Padahal, beliau adalah seorang tokoh besar dalam ilmu hadis dan fiqih, pendiri salah satu dari empat mazhab besar dalam Islam.

Menghargai Kehati-hatian dalam Ilmu

Dalam kitab Al-Manhaj As-Sawi, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith mengutip penjelasan Imam An-Nawawi mengenai pentingnya sikap berhati-hati dalam menjawab pertanyaan agama. Pernyataan seperti (لا أدري) la adri, “saya tidak tahu,” bukanlah tanda kelemahan seorang alim. Sebaliknya, hal itu justru menunjukkan tingginya derajat keilmuan, ketakwaan, dan makrifat mereka.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN