Bahtsul Masail: Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama dalam Menjawab Problematika Umat

 
Bahtsul Masail: Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama dalam Menjawab Problematika Umat
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia yang memiliki akar kuat dalam tradisi pesantren dan ulama. Salah satu tradisi intelektual yang khas dari NU adalah Bahtsul Masail, sebuah forum diskusi yang bertujuan untuk membahas dan merumuskan jawaban atas berbagai persoalan keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dihadapi umat Islam. Bahtsul Masail tidak hanya menjadi wadah pemikiran para kyai dan santri, tetapi juga mencerminkan dinamika perkembangan hukum Islam dalam konteks masyarakat modern.

Tradisi Bahtsul Masail telah berkembang jauh sebelum NU didirikan pada tahun 1926. Di lingkungan pesantren, para kyai dan santri terbiasa mendiskusikan berbagai persoalan fiqih dan kehidupan sosial dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Tradisi ini kemudian diadopsi oleh NU sebagai salah satu kegiatan formal organisasi, yang pertama kali diadakan dalam Kongres I NU pada 21-23 September 1926.

Seiring berjalannya waktu, Bahtsul Masail menjadi bagian integral dari kegiatan NU, baik dalam forum nasional seperti, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama, Konbes (Konferensi Besar) NU, dan Muktamar, maupun dalam skala lokal di tingkat pesantren dan cabang NU.

Setelah lebih dari setengah abad, pada tahun 1989 dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta, NU merekomendasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masail Diniyah sebagai lembaga permanen. Akhirnya pada tahun 1990, PBNU resmi membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahtsul Masail NU pasca-Muktamar 2004.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN