Arti Tawasuth dan Penerapannya dalam Kebudayaan, Pemikiran KH. Achmad Shiddiq

Laduni.ID, Jakarta - KH. Achmad Shiddiq, lahir di Jember pada 24 Januari 1926, adalah ulama dan pemikir NU yang memiliki kecerdasan luar biasa sejak kecil. Ia dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan menimba ilmu di Tebuireng di bawah bimbingan KH. Hasyim Asy’ari, yang melihat potensinya dan mengkhususkan tempat belajar untuknya. Kedekatannya dengan KH. Wahid Hasyim membawanya ke lingkaran strategis NU dan pemerintahan, bahkan ia dipercaya menjadi sekretaris pribadi Wahid Hasyim saat menjabat Menteri Agama. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kakaknya, KH. Mahfudz Shiddiq, dan ia sering berdiskusi dengan KH. Muchith Muzadi dalam merumuskan konsep ke-NU-an, seperti Khittah Nahdliyah dan Fikroh Nahdliyah.
Perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan dimulai melalui GPII dan kiprahnya di pemerintahan sebagai kepala KUA Situbondo hingga Kepala Kanwil Kemenag Jatim. Di NU, ia berkembang dari tingkat wilayah hingga menjadi Rais Aam PBNU (1984-1991), menggantikan KH. Ali Ma’shum. Kepemimpinannya membawa NU kembali ke Khittah 1926, menegaskan posisinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang independen dari politik praktis. Keilmuan, kepiawaian berpidato, dan pemikirannya yang moderat menjadikannya salah satu tokoh kunci dalam perjalanan NU modern.
Dalam salah satu karyanya, Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama - al-Fikrah al-Nahdliyyah (1969), Kyai Achmad memberikan wawasan yang amat mendalam kepada para pembaca:
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...