Mengulik Aturan Fiqih tentang Rukhshoh Tidak Berpuasa bagi Musafir

Laduni.ID, Jakarta - Dalam hukum fiqih Islam, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan hukum pokok dalam beribadah. Contohnya, diperbolehkannya meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat, menjamak shalat Dzuhur dan Ashar dalam satu waktu, serta menjamak shalat Maghrib dan Isya’.
Selain itu, faktor-faktor tertentu juga membolehkan seseorang berbuka puasa, meninggalkan shalat Jumat, dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut antara lain sakit, hujan lebat, safar (perjalanan), pingsan, gila, dan lain sebagainya.
Sebagaimana ibadah wajib lainnya, dalam puasa Allah juga memberikan keringanan bagi kelompok tertentu untuk tidak berpuasa. Sebagai konsekuensinya, mereka diwajibkan menggantinya di hari lain, membayar fidyah, atau kombinasi keduanya. Salah satu kelompok yang mendapatkan keringanan ini adalah musafir, yaitu orang yang sedang melakukan perjalanan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“...Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain....” (QS. Al-Baqarah: 185)
Namun, ketentuan mengenai kebolehan berbuka bagi musafir memiliki aturan tersendiri yang tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an. Aturan-aturan ini perlu dipahami agar masyarakat Muslim tidak salah dalam menerapkannya.
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...