Kartini dan Cermin Peradaban: Sebuah Renungan di Tengah Arus Zaman

Laduni.ID, Jakarta - Di tengah-tengah harmoni rebana yang mengiringi malam-malam langgar desa, dan di sela desir angin yang membelai daun jati tua di lereng Nusantara, nama Kartini senantiasa terbit sebagai cahaya rembulan yang menyapa kalbu para pencari ilmu dan jati diri. Setiap 21 April, bangsa ini—dari pojok madrasah sampai balai budaya, dari aula pesantren sampai gedung parlemen—memperingati kelahiran Raden Ajeng Kartini. Bukan sekadar sebagai seremoni tahunan, melainkan sebagai upaya merawat ingatan kolektif tentang perempuan yang membawa suluh di lorong gelap keterbatasan.
Kartini bukan hanya tokoh sejarah—ia adalah gerakan batin yang hidup. Ia perempuan dari jejeran ningrat Jawa yang bisa saja larut dalam kebangsawanan pasif, namun justru memilih mengutuk gelap ketimbang memujanya.
Surat-suratnya adalah munajat panjang yang melampaui formalitas kebangsawanan. Kartini menulis kepada sahabatnya di negeri Belanda bukan dengan nada mengiba, tapi dengan daya jiwa yang membakar. “Habis gelap, terbitlah terang,” bukan sekadar frasa puitik, tapi doktrin hidup yang melawan hegemoni budaya patriarki dan kolonialisme kebodohan.
Sebagai santri yang tumbuh dengan naskah kuning
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...