Berbagai Cerita Kesalahpahaman Tentang NU

 
Berbagai Cerita Kesalahpahaman Tentang NU

LADUNI.ID - Kisah-kisah berikut ini nyata adanya serta berdasarkan apa yang saya alami sendiri, khususnya sebagai seorang nahdliyin yang tinggal di Jerman, yang tak jarang mendapatkan kesalahpahaman yang seringkali tak berdasar. Yang datangnya bukan dari orang lain, namun sesama anak bangsa yang juga muslim.

Rasanya ingin marah saja bila hal itu terjadi, bahkan mungkin saja saya kelepasan dalam beberapa kali interaksi. Bila ada dari saya yang demikian, saya mohon kerelaan untuk dimaafkan.

Tak ada maksud lain sesederhana keinginan saya untuk senantiasa nggandholi sarunge kyai, meskipun itu hanya melalui tulisan berikut ini.

Kisah #1: Yang Mereka Anggap Liberal itu Ahli Dzikir

Pertengahan 2017 lalu saya mendapat sebuah kesempatan mulia menyambut seorang profesor yang juga rektor sebuah universitas islam negeri sekaligus seorang pengasuh pondok pesantren. Sehari sebelum menyambut kedatangan beliau di Berlin, saya mendapatkan telfon dari seorang yang saat itu juga mengenalkan dirinya sebagai seorang yang besar dari keluarga yang beramaliyah NU. Pada prinsipnya ia ingin menghadiri acara besok yang mauidhoh hasanah-nya akan diisi oleh profesor tersebut. Tetapi ia bimbang. Sebabnya, santer kabar di lingkaran perkawanannya bahwa profesor tersebut adalah seorang yang liberal. Ia lantas menanyakan pendapat saya. Jawab saya diplomatis, „Datang dan dengarkan saja dulu, bila sesuai ambil, bila tak sesuai tinggalkan.“

Esoknya saya bersama beberapa pengurus PCINU Jerman menjumpai profesor tersebut beberapa jam sebelum acara dimulai. Secara fisik dan penampilan, beliau tampak sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, tak terlihat sesuatu yang khusus. Sampai kemudian saya tak sengaja melihat sebuah counter digital berwarna hitam yang beliau tautkan pada salah satu jarinya. Sepertinya beliau sengaja memutar tombol dan layer counter tersebut agar menghadap kedalam telapak tangannya. Entah agar beliau lebih mudah menekannya, atau agar tak tampak orang. Saya perhatikan, sambil mengobrol bersama, dengan frekuensi yang ajeg beliau terus menekan tombol counter digital tersebut. Hal ini terus berlangsung dari hotel lokasi beliau menginap pagi harinya hingga kami berpamitan pulang pasca mengantar beliau kembali ke hotel malam harinya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN

 

 

Tags